3 Dampak Positif Co-Parenting Menurut Psikolog

Co-parenting atau pengasuhan bersama sering dilakukan oleh orangtua yang bercerai, untuk memastikan anak tetap tumbuh dengan cinta dan perhatian dari ayah dan ibunya, meskipun kedua orangtuanya sudah tidak tinggal seatap.
Ada beberapa figur publik yang menerapkan co-parenting, seperti Acha Septriasa dan Vicky Kharisma, Gading Marten dan Gisella Anastasia, serta Desta dan Natasha Rizky.
Rupanya, ada dampak positif dari co-parenting terhadap anak, meskipun dibesarkan oleh orangtua yang sudah bercerai.
Dampak positif co-parenting
1. Lebih mampu beradaptasi
Psikolog klinis anak dan remaja Alida Shally Maulinda, M.Psi., berpraktik di Sentra Pendidikan Khusus Amadeus, Manado, Sulawesi Utara, mengatakan bahwa anak bisa lebih mampu beradaptasi.
“Perpisahan orangtua merupakan hal yang signifikan bagi anak, sehingga anak yang diberikan persiapan secara fisik dan psikologis, akan lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang akan terjadi,” kata dia, Sabtu (9/8/2025).
Orangtua sebaiknya memberi tahu anak tentang apa yang terjadi. Ini dapat mempersiapkan anak dengan kehidupan barunya setelah orangtuanya bercerai.
“Ketika keputusan untuk bercerai sudah bulat bagi kedua pihak, anak harus diberi tahu. Luangkan waktu khusus untuk membicarakan ini pada anak. Lebih disarankan jika ayah dan ibu ada di situ,” tutur Alida.
Melibatkan anak dalam diskusi tersebut bukan berarti ayah dan ibu membicarakan semua hal tentang perceraian mereka, seperti penyebab perceraian, secara merinci. Caranya pun bukan langsung mengatakan “Ayah dan ibu bercerai ya, nak”.
Cara memberi tahu anak perlu disesuaikan dengan usia anak. Semakin muda usia mereka, semakin sederhana pula cara dan kata-kata yang digunakan.
Pada anak yang sudah mulai paham dengan isi dari buku yang dibaca, buku bisa menjadi alternatif untuk membantu ayah dan ibu menjelaskan soal situasi mereka.
Hal ini dapat membuat anak lebih mudah beradaptasi saat dihadapkan dengan situasi baru di masa yang akan datang.
“Misalnya mulai dari pengenalan sekolah atau tempat tinggal baru, hingga pengenalan tentang pikiran dan perasaan yang mungkin akan anak rasakan, dan cara mengatasinya,” tutur Alida.
2. Lebih mampu mengelola emosi
Kekompakan antara ayah dan ibu saat co-parenting memengaruhi kemampuan anak berusia 9-16 tahun dalam mengelola emosi.
Misalnya adalah orangtua dengan sudut pandang yang sama tentang anak, seperti anak perlu lingkungan yang aman dan nyaman untuk mengekspresikan emosinya.
“Ini akan membantu anak terbuka mengenai perasaannya, serta mampu mengelola diri secara efektif ketika merasakan emosi negatif,” terang Alida.
3. Mengurangi risiko kemunculan perilaku bermasalah
Selanjutnya, co-parenting bisa mengurangi risiko munculnya perilaku bermasalah pada anak usia prasekolah.
Ketika kedua belah pihak aktif terlibat dalam mengasuh anak, meskipun sudah tidak berstatus sebagai suami dan istri, potensi munculnya perilaku seperti hiperaktif, membantah orangtua, atau merundung orang lain, bakal berkurang.
Keterlibatan dalam mengasuh anak bukan sekadar kompak tentang cara mengasuh anak, tetapi juga saling menghargai di depan anak, serta pembagian tugas yang adil.
“Dampak positif tentu ada, jika co-parenting yang terjalin merupakan hubungan kerja sama,” kata Alida.
Saat bekerja sama, memang belum tentu ayah dan ibu bakal selalu sependapat, terutama jika penyebab perceraian cukup mengguncang emosional keduanya.
“Tetapi, jika jalan tengah yang diambil adalah berfokus pada kebutuhan anak, itu akan membawa hal yang baik bagi anak,” sambung Alida.
Seperti apa co-parenting yang baik?
Perceraian karena konflik apapun, baik itu ringan maupun berat, orangtua harus bekerja sama dalam mengurus anak mereka.
Untuk menerapkan co-parenting yang baik dan efektif, demi perkembangan anak yang mumpuni, harus ada komunikasi yang sehat antara orangtua.
‘“Dan tetap ada kehangatan ketika mereka menjalankan fungsinya sebagai orangtua, dan saling mendukung peran satu sama lain. Artinya tidak berkonflik di depan anak,” ujar psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. saat dihubungi Kompas.com, Sabtu.
Pandai memposisikan diri
Kemudian, orangtua juga harus bisa memposisikan diri ketika mereka sedang menjadi ayah dan ibu, dan ketika mereka sedang menjadi mantan suami dan mantan istri.
Maksudnya, ketika sedang bersama dengan anak, ubah pola pikir menjadi “Saya adalah ayah atau ibu yang sedang menemani anak”, bukan “Saya sedang menemani anak bersama mantan suami atau istri”.
Ketika masih memposisikan diri sebagai mantan suami dan mantan istri, konflik berpotensi muncul karena masih ada perasaan kesal kepada mantan pasangan.
Sementara itu, ketika sedang menerapkan co-parenting, perasaan apapun yang sifatnya personal, sepenuhnya harus dikesampingkan demi anak.
“Kalau hubungan antara mantan suami dan mantan istri memang enggak baik karena konflik, saat co-parenting ya diubah perannya. Kita perlu sadar bahwa peran kita sebagai orangtua, bukan mantan suami dan mantan istri,” terang Agnes.
Menurut psikolog yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat ini , hal tersebut memang tidak semudah seperti apa yang dikatakan.
Namun, orangtua harus berusaha, dengan kerendahan hati, untuk benar-benar fokus hanya memikirkan dan mementingkan yang terbaik untuk anak, bukan untuk diri sendiri.
“Pasti kan enggak mudah juga untuk menahan-nahan rasa kesal,” kata Agnes yang juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!