Fenomena Gen Z Merasa Tua di Usia Muda, Ini Penyebabnya Menurut Psikolog

Gen Z atau generasi Z adalah mereka yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012, artinya saat ini Gen Z tengah berusia 13 tahun sampai 28 tahun. 

Namun, survei dari lembaga riset tren Ypulse menunjukkan, mayoritas Gen Z merasa sudah tua meski baru memasuki awal 20-an.

Gen Z juga disebut menganggap diri mereka terlambat sukses, terlambat healing, bahkan terlambat menikmati hidup. Rasa lelah, kehilangan arah, dan gejala burnout menjadi keluhan yang cukup sering terdengar.

Nah, mengapa Gen Z sering merasa tua?

Tekanan media sosial dan krisis identitas

Psikolog klinis Reti Oktania, M.Psi. mengatakan, salah satu faktor utama Gen Z merasa cepat tua adalah karena tekanan dalam proses pencarian identitas, sebuah fase perkembangan yang sejatinya sangat penting dan wajar pada usia 20-an.

“Usia Gen Z saat ini sedang berada di fase mencari dan memantapkan identitas. Tapi di saat yang sama, mereka juga dihadapkan dengan standar kesuksesan, gaya hidup, dan pencapaian orang lain yang dibentuk oleh algoritma,” jelas Reti kepada Kompas.com, Senin (14/7/2025).

Gen Z disebut sering merasa tua, dibanding Milenial. Apa penyebabnya? Psikolog jelaskan soal tekanan identitas dan peran media sosial di dalamnya.

Menurut Reti, dalam psikologi perkembangan, masa usia 20-an disebut sebagai fase identity versus role confusion yaitu masa untuk mengenal diri, mencoba berbagai peran, dan menentukan arah hidup.

alih fokus pada diri sendiri, Gen Z justru kerap membandingkan hidupnya dengan pencapaian orang lain di media sosial, dari viral di usia muda, memiliki bisnis sendiri, hingga rutin traveling ke luar negeri.

Hal itu sejalan dengan temuan Ypulse yang menyebut mayoritas Gen Z mengaku merasa “sudah tua” bukan karena faktor fisik, melainkan akibat beban mental yang datang terlalu dini. 

Generasi Milenial merasa masih muda

Berbeda dengan Gen Z, generasi Milenial justru lebih tenang menghadapi fase dewasa. Meski dihadapkan pada tantangan berat, seperti harga rumah yang semakin tak terjangkau, utang pendidikan, hingga krisis pekerjaan, banyak dari mereka tetap memelihara identitas young at heart.

Kendati begitu, Reti menambahkan, saat ini mayoritas dari Milenial sudah dalam kondisi yang lebih stabil sehingga bisa fokus dengan diri sendiri.

"Gen Milenial kebanyakan udah punya waktu untuk ngurus diri sendiri, udah fokus lagi kepada kesehatan, fokus lagi kepada connection (keterhubungan), connected sama keluarga, connected sama pasangan, connected sama lingkungan," terangnya.

Dengan demikian, budaya healing, self-reward, dan merawat inner child justru tumbuh subur di kalangan Milenial usia 30-an.

Bagaimana agar Gen Z lebih stabil secara psikologis?

Gen Z disebut sering merasa tua, dibanding Milenial. Apa penyebabnya? Psikolog jelaskan soal tekanan identitas dan peran media sosial di dalamnya.

Untuk membantu Gen Z lebih stabil secara psikologis, Reti menyarankan agar identitas tidak dibangun hanya dari satu aspek, seperti pekerjaan atau pencapaian pribadi.

Ia mengadaptasi teori self-concept dari psikolog Susan Harter yang mengusulkan enam “keranjang” identitas yang sehat yaitu:

• Akademik dan pengetahuan

Teruslah belajar dan berkembang secara intelektual, baik lewat pendidikan formal maupun pembelajaran mandiri.

• Koneksi sosial

Jalin hubungan yang sehat, bahkan jika hanya dengan satu-dua orang dekat.

• Kesehatan fisik

Jaga tubuh lewat olahraga, makan sehat, tidur cukup, dan merawat diri.

Gen Z disebut sering merasa tua, dibanding Milenial. Apa penyebabnya? Psikolog jelaskan soal tekanan identitas dan peran media sosial di dalamnya.

• Minat dan hobi

Lakukan hal yang disukai tanpa harus menargetkan prestasi. Kumpul dengan fanbase suatu band, berburu kuliner favorit, atau menekuni crochet.

• Tanggung jawab dan pekerjaan

Punya peran atau tanggung jawab yang memberi makna, bukan hanya target.

• Kebaikan dan makna hidup

Lakukan hal baik, sekecil apa pun seperti memberi uang lebih ke pedagang kecil atau memberi makan kucing. Ini membantu kita merasa bahwa keberadaan diri bermakna.

“Kalau semua aspek hidup ditaruh di satu keranjang saja, lalu keranjangnya jatuh, hidup bisa terasa hancur. Tapi kalau punya banyak keranjang, kita bisa tetap berdiri meski salah satu runtuh,” jelas Reti.