Cara Mengatasi Anak Tantrum karena Gadget Menurut Psikolog, Jangan Langsung Dimarahi

Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua ketika anak tantrum karena dilarang main HP atau gadget (gawai)?
Menurut psikolog, respons terbaik bukanlah marah balik atau langsung mengambil gadget-nya, melainkan memahami emosi anak dan alasan di balik perilakunya.
Hal ini disampaikan Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi., M.Psi dalam acara Bakul Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia bertema "Sehari Happy, Tanpa HP" di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/7/2025).
Mengatasi anak tantrum karena gadget
Cari tahu penyebab anak tantrum
Anak tantrum karena dilarang main HP atau gadget? Langsung merebut gadget-nya bukanlah cara yang tepat, ini saran psikolog.
"Tantrum itu normal sampai umur empat tahun. Setelah empat tahun, anak belajar untuk meregulasi dirinya. Tapi kalau tantrumnya karena tidak mendapatkan HP, itu tandanya sudah mulai ada ketergantungan," kata psikolog yang akrab disapa Vivi kepada Kompas.com, Sabtu (26/7/2025).
Ia menggarisbawahi bahwa tantrum bukan sesuatu yang harus langsung dimaknai sebagai perilaku buruk.
Tantrum adalah ekspresi emosi saat anak merasa frustrasi tidak bisa mengungkapkan keinginan atau merasa kehilangan sesuatu yang disukai, dalam hal ini adalah gadget.
"Biasanya anak tantrum ketika dia ingin sesuatu dan tidak mendapatkannya. Pertanyaannya adalah: Dia ingin apa? Kalau yang diminta itu gadget, dan dia marah karena tidak diberi, ya kita harus cek, apakah selama ini dia memang terlalu sering pegang gadget?" jelas Vivi.
Vivi menuturkan, semua bentuk ketergantungan, termasuk pada gadget, akan menimbulkan respons emosional ketika dihentikan secara tiba-tiba.
Oleh karena itu, orangtua perlu pendekatan yang lebih empati dan strategis.
Tenangkan dulu, baru ajak bicara
Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi., M.Psi, Psikolog, yang hadir dalam acara Bakul Budaya FIB UI edisi Hari Anak Nasional, di Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (26/7/2025).
Menurut Vivi, langkah pertama yang penting adalah menenangkan anak terlebih dahulu sebelum mengajaknya berbicara.
Merespons anak yang sedang menangis atau marah dengan kemarahan hanya akan memperpanjang konflik.
"Tenangin dulu, baru diajak ngomong. Kalau masih di bawah tujuh tahun, kita bisa tebak-tebak perasaannya. Misalnya, 'Kamu marah ya karena enggak dikasih HP? Kamu sedih ya?', itu membuat anak merasa dimengerti dulu sebelum diarahkan," terang Vivi.
Setelah anak tenang, barulah percakapan bisa diarahkan ke hal-hal reflektif, contohnya kenapa dia marah, bagaimana perasaannya, dan apa solusi lain selain gadget.
Sebab, menurut Vivi, anak-anak yang dilatih mengenali dan mengungkapkan emosinya sejak dini akan lebih cepat belajar mengatur diri.
Ajari anak mengatur emosinya
Mengatur emosi itu hasil latihan, bukan bawaan
Anak tantrum karena dilarang main HP atau gadget? Langsung merebut gadget-nya bukanlah cara yang tepat, ini saran psikolog.
Vivi juga mengingatkan, kemampuan mengatur emosi bukanlah sesuatu yang muncul otomatis. Anak perlu dilatih secara bertahap.
Bahkan, Vivi kerap menemukan kasus anak usia 10 tahun masih sulit mengendalikan emosi karena selama ini tidak pernah benar-benar diajari untuk mengatur perasaannya.
"Orangtua sering berpikir, anak saya sudah besar, harusnya sudah bisa regulasi diri. Padahal regulasi itu bukan bawaan, tapi hasil latihan, dan pertanyaannya, orangtuanya sudah bisa regulasi diri atau belum?" jelas Vivi.
Ia juga menyoroti kecenderungan orangtua yang langsung melarang atau mengambil gadget secara sepihak, tanpa memberikan alternatif kegiatan.
Padahal strategi yang lebih efektif adalah mengalihkan perhatian anak ke aktivitas yang menyenangkan, seperti bermain, mendongeng, atau sekadar ngobrol bareng.
"Anak tantrum karena kehilangan sesuatu yang menyenangkan. Jadi tugas kita adalah hadirkan sesuatu yang lebih menarik. Kalau anak punya alternatif yang bikin dia happy (senang), dia enggak akan terus cari HP kok," tuturnya.
Bukan gadget yang salah, tapi kurang aktivitas bermakna
Anak tantrum karena dilarang main HP atau gadget? Langsung merebut gadget-nya bukanlah cara yang tepat, ini saran psikolog.
Dalam acara Bakul Budaya hari itu, Vivi mengamati sendiri bagaimana puluhan anak dari berbagai usia bisa tetap antusias mengikuti acara tanpa sibuk dengan gadget mereka.
Ia melihat ini sebagai bukti bahwa bukan gadget yang membuat anak kecanduan, tapi ketiadaan aktivitas bermakna yang membuat gadget jadi pelarian.
"Jadi sebenarnya rumusnya sederhana, kalau tidak mau anak pegang HP terus, alihkan dengan kegiatan yang menyenangkan," tutupnya.
Dengan pendekatan yang empati, konsisten, dan kreatif, orangtua bisa membantu anak tidak hanya mengurangi ketergantungan pada gadget, tapi juga belajar mengelola emosi, membangun relasi, dan tumbuh dengan sehat secara psikologis.