Psikolog Ingatkan, Jangan Sering-sering Curhat ke ChatGPT dkk

artificial intelligence, chatbot AI, Chatbot AI, Artificial Intelligence, AI tempat curhat, Psikolog Ingatkan, Jangan Sering-sering Curhat ke ChatGPT dkk

Apakah Anda salah satu orang yang sering curhat ke chatbot AI, seperti ChatGPT, Gemini, Meta AI, Character.ai, Nomi, Replika, dan sejenisnya? Ada baiknya, kebiasaan itu mulai dikelola dengan bijak.

Sebab, pakar psikologi menyebut keseringan curhat dengan chatbot berbasis kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI) memiliki dampak.

Salah satu alasannya karena interaksi dengan bot, memiliki efek yang berbeda dengan interaksi dengan manusia sungguhan.

Profesor psikologi Univesity of Kansas, Omri Gillath mengatakan, interaksi antara manusia dengan chatbot terasa "palsu" dan "kosong".

Sebab, chatbot AI sejatinya tidak dirancang untuk memberikan kepuasan dalam interaksi jangka panjang.

Gillath mengatakan, AI tidak bisa mengenalkan Anda ke jejaring pertemanan layaknya manusia. AI tidak bisa memperkenalkan penggunanya ke teman baru atau sosok krusial yang bisa memberikan pelukan saat butuh sandaran.

Chatbot AI, justru dirancang posesif, agar pengguna setia dan tetap bertahan di platform tersebut selama mungkin. Karena begitulah perusahaan pengembangnya mendapatkan keuntungan.

"Mereka (pengembang) melakukannya di belakang dengan merancang coding chatbot agar menjadi adiktif," jelas Gillath.

Chatbot AI hanya pemuas sesaat

artificial intelligence, chatbot AI, Chatbot AI, Artificial Intelligence, AI tempat curhat, Psikolog Ingatkan, Jangan Sering-sering Curhat ke ChatGPT dkk

Ilustrasi stress, jurusan kuliah paling disesali

Berdasarkan studi yang dilakukan Harvard Business, kebanyakan orang memilih chatbot AI sebagai teman curhat adalah karena kebutuhan terapi dan perkawanan. Akan tetapi, pakar psikologi menyarankan agar chatbot AI tidak dijadikan sebagai terapis.

"Chatbot ini sejujurnya dirancang untuk memberikan jawaban yang diharapkan penggunanya," kata Vaile Wright, seorang psikolog sekaligus Direktur Senior Inovasi Perawatan Kesehatan di American Psychological Association.

Artinya, respons chatbot tersebut hanya ditulis secara asal mengikuti curhatan pengguna. Mereka tidak mempertimbangkan apakah jawaban yang diberikan sudah tepat dengan anjuran medis atau belum.

"Jadi misalnya, Anda seseorang yang kebetulan berada di dalam situasi pelik dan mengetikkan sesuatu yang berpotensi berbahaya atau perilaku dan pikiran buruk, chatbot semacam ini akan memperkuat pikiran dan perilaku yang bisa jadi merugikan tersebut," jelas Wright dalam podcast Speaking of Psychology, sebagaimana dikutip KompasTekno dari CNBC, Kamis (24/7/2025).

Bisa salah beri saran

Menurut Wright, respons AI yang hanya mengikuti "kata-kata" pengguna bisa berisiko menyesatkan. AI dinilai bisa memberikan saran yang salah karena tidak benar-benar memahami konteks dan keadaan psikologis pengguna.

Misalnya, AI memiliki pemahaman bahwa beberapa jenis narkoba legal, bisa membuat orang merasa lebih baik.

Lalu ketika ada pengguna yang curhat bahwa dirinya sedang lesu dan depresi, maka AI bisa saja menyarankan untuk mengonsumsi narkoba tersebut.

Padahal kenyataannya, AI tidak tahu kalau si pengguna sedang dalam masa pemulihan dari penggunaan narkoba illegal. Saran seperti inilah yang dimaksud bisa membahayakan pengguna.

Wright menilai, kemungkinan seperti ini merupakan salah satu bentuk kelemahan teknologi AI. Ia memang dibuat untuk memiliki banyak pengetahuan, tapi tidak bisa memahami konteks penggunaan.

"Perbedaan antara mengetahui dan memahami sebenarnya sangat penting ketika kita berbicara tentang penggunaan hal-hal ini untuk terapi," tutur Wright.

Dengan demikian, meski AI bisa menjawab berbagai keluh kesah kehidupan Anda, para ahli psikologis tetap menganjurkan agar tidak mengandalkan alat tersebut sebagai tempat curhat utama.

Kemampuan AI yang hanya bisa menjawab sesuai dengan pengetahuan tanpa pemahaman mendalam, bisa berisiko terhadap kesehatan mental pengguna.

Alangkah lebih baik ketika Anda sedang dalam keadaan tidak baik, segera cari pertolongan dan konsultasikan kepada pihak profesional.

Remaja banyak curhat ke chatbot AI

Kalangan remaja disebut segmen pengguna yang banyak memanfaatkan chatbot AI untuk curhat.

Menurut laporan terbaru dari lembaga nirlaba Common Sense Media mengungkap, 72 persen remaja usia 13-17 tahun di Amerika Serikat (AS) mengaku pernah menggunakan "AI Companion" (pendamping AI) setidaknya sekali dalam hidup.

Dari jumlah tersebut, 18 persen menyatakan menggunakan chatbot AI untuk teman ngobrol dan aktivitas sosial. Sementara 12 persennya dipakai untuk mencari dukungan emosional atau kesehatan mental.

Adapun yang paling parah adalah 9 persen sisanya, di mana remaja bahkan menganggap AI sebagai sahabat atau teman dekat.