Apa Benar "Sad Beige Mom" Pudarkan Pelangi Si Kecil?

PERNAH enggak sih, ketika lagi scroll media sosial seperti TikTok, Instagram, atau Facebook, kamu melihat konten ibu-ibu yang rumahnya tampak apik? Termasuk dalam urusan anak.

Ternyata, perilaku ini dikenal dengan istilah Sad Beige Mom— sebuah sindiran untuk ibu-ibu yang lebih memilih warna-warna netral, seperti coklat, krem, dan putih demi alasan estetika.

Dalam fenomena ini, para ibu cenderung mengatur hampir seluruh aspek kehidupan anak sesuai preferensi pribadi, tanpa benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan minat dan kesukaan anak.

Misalnya, dekorasi yang dipilih untuk ulang tahun anak bukan balon warna-warni atau tokoh favorit si Kecil, melainkan tema trendi minimalis yang mungkin tidak dimengerti oleh anak itu sendiri.

Kelompok yang paling mudah terpapar tren ini adalah orangtua muda dari Generasi Z, yaitu mereka yang lahir sekitar tahun 1995 sampai 2005, atau yang saat ini menjadi orangtua di usia 20–30 tahunan.

Terlebih lagi, Gen Z dikenal sebagai "The Undefined ID", yaitu generasi yang menghargai keterbukaan dan kebebasan dalam mengekspresikan diri tanpa harus terikat pada label tertentu dalam proses pencarian jati diri.

Karena itulah, mereka kerap membangun self-branding di media sosial melalui unggahan foto dan video, di mana estetika dianggap menjadi aspek utama.

Nilai estetika inilah yang kemudian tidak hanya tercermin dalam gaya berpakaian atau tampilan media sosial mereka, tetapi juga merembet ke berbagai aspek kehidupan lainnya— termasuk saat mereka menjalani peran baru sebagai orangtua.

Ketika self-branding dan citra visual menjadi bagian penting dari identitas, tak jarang keputusan parenting ikut dibentuk oleh apa yang tampak menarik secara visual dan bisa dibagikan ke publik.

Wajar kalau merasa ragu atau butuh validasi, terutama di masa-masa awal menjadi orangtua. Melihat konten parenting yang terkesan sempurna bisa membuat kita terinspirasi, bahkan ingin meniru gaya mereka, baik dari pemilihan baju anak hingga gaya pengasuhan.

Namun, hati-hati ya, Moms! Di balik tampilannya yang rapi dan estetik, tren ini sering kali menciptakan tekanan tersendiri bagi para ibu—khususnya Gen Z—yang merasa perlu tampil dewasa, tenang, dan ideal di mata orang lain.

Tanpa disadari, perhatian menjadi lebih terfokus pada ‘bagaimana tampilannya’ dibandingkan ‘bagaimana rasanya’, dan di sinilah pengaruh bias estetika mulai mengubah makna sejati dari pengasuhan itu sendiri.

Pro dan kontra fenomena "Sad Beige Mom"

Tidak cuman soal gaya, warna-warna netral bisa bantu ciptakan suasana yang tenang, terutama buat anak-anak yang gampang merasa kewalahan oleh banyak rangsangan (overstimulated).

Selain itu, barang-barang dengan warna senada juga akan lebih mudah untuk dipadupadankan, baik ke anak laki-laki maupun perempuan karena bersifat netral.

Dari sisi tampilan pun terlihat rapi dan elegan, tidak akan terlihat ketinggalan zaman karena warna netral memberikan kesan timeless. Jadi bisa dipakai jangka panjang membuat hidup menjadi lebih simpel dan praktis.

Meski kelihatan simpel, ternyata ada dampaknya juga, lho! Pada perkembangan anak, khususnya dari sisi visual dan emosional, warna-warna yang terkesan monoton dianggap dapat memengaruhi suasana hati anak.

Selain itu, hal ini juga memengaruhi interaksi sosial anak. Lingkungan yang memiliki warna monoton dan membosankan tidak dapat memunculkan rangsangan yang mampu mendorong anak untuk melakukan lebih banyak eksplorasi.

Bagi orangtua sendiri, fenomena ini justru bisa bikin pengeluaran makin membengkak. Warna netral yang terkesan praktis sering kali mendorong orangtua untuk membeli barang-barang yang lebih spesial, dengan metode custom atau yang terkadang hanya tersedia di toko-toko besar.

Tak cuma soal estetika, tren ini juga bisa memicu rasa FOMO, karena muncul anggapan bahwa kalau kita nggak ikut-ikutan, artinya kita ketinggalan zaman. Lama-lama, hal ini terasa seperti tuntutan tersendiri bagi para orangtua baru.

Pernyataan di atas menjadi bukti nyata, bahwa fenomena Sad Beige Mom bukan sekadar gaya, melainkan tren yang muncul sebagai respons orangtua terhadap tekanan media sosial dalam membentuk citra sempurna.

Tekanan ini mendorong banyak orangtua mengikuti estetika tertentu demi mendapatkan pengakuan dan apresiasi, baik dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, maupun dari para pengguna sosial media lainnya.

Bijak jadi orangtua masa kini

Nah, Moms, di tengah derasnya arus tren parenting yang muncul di media sosial, penting banget buat kita kembali ke dasar: apa sih yang sebenarnya paling penting buat keluarga kita?

Soalnya, media sosial ternyata bisa memicu tekanan untuk jadi “orangtua ideal” dan mendorong kita membandingkan diri dengan standar pengasuhan yang belum tentu cocok untuk keluarga kita (Khiyaroh, 2024).

Yuk! Mulai belajar menyaring apa yang memang bermanfaat, dan apa yang hanya sekadar FOMO, dengan cara mengurangi intensitas penggunaan media sosial dan internet. Mensyukuri Setiap hal yang dimiliki.

Jadi, Moms, penting bagi orangtua untuk tidak terlalu terpaku tren estetika yang booming di konten pengasuhan yang sering kita lihat di media sosial.

Pada akhirnya pengasuhan bukan tentang seberapa rapi dan cantik penampilan rumah ataupun perlengkapan anak, melainkan seberapa baik dan bermanfaatnya fungsi barang-barang tersebut, juga lingkungan yang kita ciptakan untuk mampu mendukung tumbuh kembang si Kecil secara optimal, baik secara fisik, emosional, maupun sosial.

Ingat, kebahagiaan anak tidak diukur dari seberapa estetik dan apik perlengkapannya, tapi seberapa hangat, aman, dan penuh cinta pengasuhan yang anak dapatkan.