Pengukuran yang Tepat untuk Mendorong Kualitas Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif

Salah satu pendekatan strategis yang mulai mendapatkan tempat adalah pengukuran capaian perkembangan anak usia dini yang dikembangkan sebagai dasar penyusunan kebijakan dan intervensi.
“Kalau kita ingin meningkatkan hasil Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) di usia 15 tahun, maka kita harus kembali ke 10 sampai 15 tahun sebelumnya. Di masa anak masih balita, itulah momen emas yang tidak bisa terulang,” kata anggota ECED Council dan perwakilan dari J-PAL Southeast Asia, Farah Amalia.
Periode usia dini merupakan fase kritis dalam perkembangan otak anak. Dalam lima tahun pertama kehidupan, otak berkembang sangat pesat, mencapai 90 persen dari ukuran otak dewasa. Pada masa inilah ratusan jaringan saraf terbentuk setiap detik.
Sering kali, aktivitas sederhana, seperti mencoret, menendang bola, meronce, memegang sendok dan gelas, meremas kertas, dan mengancingkan baju dianggap sebagai permainan biasa. Padahal, bagi anak usia dini, bermain itu sama dengan belajar.
Melalui pembelajaran yang menyenangkan, lanjut dia, anak akan tumbuh menjadi individu yang mencintai proses belajar, bukan karena dipaksa, tetapi karena dia menikmati eksplorasinya.
Namun, perkembangan anak usia dini tak hanya menyangkut aspek belajar. Kebutuhan akan asupan gizi seimbang (termasuk ASI eksklusif dan berkelanjutan hingga dua tahun), imunisasi lengkap, lingkungan yang aman, serta pengasuhan yang responsif juga menjadi kunci penting dalam fase ini.
Semua elemen tersebut—gizi, kesehatan, perlindungan, pengasuhan, dan pembelajaran—merupakan bagian dari pendekatan holistik dan integratif dalam pengembangan anak usia dini.
Pengukuran yang tepat, intervensi yang tepat
“Stunting itu penting, tapi hanya mencakup 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Setelah usia dua tahun, kita butuh alat ukur lain yang melihat aspek belajar, kesehatan, dan kesejahteraan psikososial secara komprehensif,” tegas Farah.
Salah satu langkah besar yang kini diambil Indonesia adalah adopsi Early Childhood Development Index (ECDI) 2030, sebuah alat ukur global yang dirancang untuk memantau perkembangan anak usia 24–59 bulan.
Menurut Farah, ECDI 2030 bukan sekadar alat statistik, tapi juga berfungsi sebagai fondasi bagi pembangunan kesadaran publik, perumusan intervensi berbasis data, dan penguatan arah kebijakan.
“Melalui pendekatan ini, Indonesia mempertegas komitmennya untuk melahirkan generasi unggul 2045, dengan investasi yang cermat sejak periode awal kehidupan anak,” ujarnya.
ECDI 2030 kini menjadi indikator Prioritas Nasional 4 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, dan merujuk pada indikator SDGs 4.2.1. Alat ini mencakup tiga domain utama: pembelajaran, kesehatan, dan kesejahteraan psikososial.
“Selain efisien, pendekatan ini juga memberdayakan keluarga sebagai sumber utama informasi perkembangan anak. Proses wawancara dapat menjadi momen reflektif yang bisa mendorong keterlibatan keluarga dalam proses stimulasi dini yang berkelanjutan,” kata Farah.
Dari data menuju aksi nyata
Sebagai contoh, jika suatu daerah menunjukkan kelemahan dalam aspek kesejahteraan psikososial, maka intervensi dapat difokuskan pada pelatihan bagi tenaga layanan sosial, serta penyusunan materi edukasi publik yang relevan dengan konteks lokal.
Pada 2024, pengukuran ECDI dilakukan secara nasional terhadap 15.000 keluarga dengan anak usia 24 hingga 59 bulan, melalui Pemutakhiran Pendataan Keluarga (PK-24) oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, didampingi oleh Bappenas dan BPS, serta didukung secara teknis dan pendanaan oleh UNICEF dan Tanoto Foundation.
Hasil resmi ECDI 2024 yang diluncurkan pada 14 Mei 2025 menunjukkan bahwa 87,7 persen anak usia 24–59 bulan di Indonesia berada dalam jalur perkembangan yang sesuai usia pada aspek kesehatan, pembelajaran, dan kesejahteraan psikososial.
“Hasil ini menunjukkan capaian positif terhadap target SDG 4.2.1. Namun, masih ada kesenjangan signifikan antar kelompok sosial ekonomi. Anak-anak dari keluarga termiskin masih tertinggal dibandingkan anak dari keluarga berada,” ujar Farah.
Mulai 2025, ECDI 2030 akan diintegrasikan dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data ini akan tersedia dalam lingkup nasional hingga tingkat kabupaten atau kota.
Menuju masa depan pendidikan yang lebih inklusif
- Bagaimana memastikan seluruh anak, di mana pun mereka berada, memperoleh layanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan pengasuhan secara terintegrasi?
- Bagaimana menanamkan praktik pengasuhan responsif dalam program-program yang telah ada?
- Bagaimana memastikan layanan multisektor menjangkau seluruh anak usia dini, tanpa terkecuali?
- Dan bagaimana pengasuh dan penyedia layanan anak usia dini dapat menilai perkembangan anak secara akurat untuk memberi dukungan yang tepat sasaran dan tepat waktu?
“Jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut akan menjadi kerangka kuat untuk desain program pengembangan anak usia dini ke depan, agar mereka memiliki keterampilan fondasi sehingga siap memasuki tahap prasekolah dan pendidikan dasar,” ujar Farah.
Kesiapan sekolah yang didasari oleh fondasi yang mumpuni akan menjadikan anak-anak bukan hanya mampu belajar, tetapi juga mencintai proses belajar itu sendiri, selalu ingin tahu, selalu ingin mengeksplorasi pengetahuan.
“Harapannya, ketika mereka mencapai usia 15 tahun, mereka telah memiliki kecakapan hidup yang mumpuni, semangat belajar yang tinggi, dan kesiapan untuk menjadi bagian dari Generasi Emas 2045,” pungkas Farah.