Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini

Drama ini menggambarkan dinamika keluarga Miller setelah anak laki-laki mereka, Jamie, yang baru berusia 13 tahun, dituduh melakukan pembunuhan terhadap teman perempuannya.
Sepanjang serial, penonton diajak merenungkan bagaimana pengaruh media sosial, tekanan teman sebaya, serta kurangnya komunikasi emosional di dalam keluarga berkontribusi terhadap konstruksi maskulinitas yang dibangun Jamie.
Salah satu benang merah yang bisa ditarik dari film ini adalah urgensi membangun kesadaran gender dan empati sejak anak usia dini. Pendidikan yang mengabaikan aspek ini dapat menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh nilai-nilai destruktif.
Padahal, sebagaimana dikemukakan dalam buku yang ditulis oleh Glenda MacNaughton berjudul “Rethinking Gender in Early Childhood Education” (2020), kesetaraan gender merupakan isu yang penting diajarkan. Anak-anak yang memiliki kesadaran tentang kesetaraan gender akan tumbuh menjadi generasi yang lebih adil, inklusif, dan produktif.
Pemahaman akan isu gender menjadi semakin penting untuk terus dibahas. Perayaan Hari Kartini pada 21 April seharusnya turut menjadi momentum untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender di dunia pendidikan kita.
Pendidikan berkualitas perlu dimaknai sebagai pendidikan yang memberikan kesempatan sama pada anak perempuan dan laki-laki untuk dapat berpartisipasi secara penuh tanpa dibatasi jenis kelamin mereka.
Isu gender dimulai sejak dini
Konstruksi gender tidak terbentuk ketika seseorang beranjak dewasa. Ia diserap anak sejak usia dini, melalui permainan, interaksi sosial, bahkan cara orang dewasa merespons tindakan mereka.
Ketika anak laki-laki didorong untuk bermain bola di luar kelas dan anak perempuan diarahkan ke permainan memasak, pola mulai terbentuk: tentang siapa yang pantas berada di ruang publik dan siapa yang seharusnya tinggal di ranah domestik.
Misalnya, ketika anak laki-laki dipuji karena berani dan aktif, sementara anak perempuan diminta untuk tenang dan sopan, ini menciptakan norma-norma gender yang membatasi perkembangan potensi anak.
Ketika mainan dibedakan secara ketat antara ‘mainan laki-laki’ dan ‘mainan perempuan’, maka kesempatan anak untuk mengeksplorasi keterampilan dan minat menjadi terbatasi.
Dalam konteks Indonesia, budaya patriarki masih kuat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap peran laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari masih cukup tingginya angka indeks ketimpangan gender sebesar 0,472.
Seperti yang dijelaskan oleh penulis dalam bukunya Gender and Power in Early Childhood Education in Indonesia, lembaga PAUD di Indonesia tidak berada dalam ruang hampa; mereka mereproduksi relasi kuasa yang bersifat gendered, baik secara simbolik melalui materi ajar maupun secara praktis melalui cara guru memperlakukan anak laki-laki dan perempuan.
Karenanya, lembaga PAUD, sebagai lingkungan pendidikan pertama di luar rumah, memiliki peran vital dalam memperkuat atau mengoreksi bias-bias gender yang dibentuk dalam keluarga.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pendidik PAUD memiliki pemahaman kuat tentang isu gender agar dapat menciptakan suasana belajar yang adil, aman, dan mendukung perkembangan semua anak tanpa diskriminasi gender.
Pengenalan isu kesetaraan gender sejak dini bukan hanya penting untuk tumbuh kembang anak. Dalam konteks pembangunan jangka panjang, khususnya visi Indonesia Emas 2045, pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi krusial.
Peran penting pendidikan anak usia dini
Anak perempuan yang tidak diberi kesempatan untuk bereksplorasi atau diposisikan sebagai penurut akan cenderung pasif dan kurang percaya diri dalam mengambil peran kepemimpinan.
Sebaliknya, anak laki-laki yang tidak diajarkan empati dan tanggung jawab emosional dapat tumbuh menjadi pribadi yang kesulitan membangun relasi sosial yang sehat.
Penelitian yang dilakukan Sofie Areljung dan Hanssen Anna Günther pada 2022, menunjukkan ketimpangan gender yang ditanamkan sejak dini menjadi akar dari rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dan sektor publik.
Selain itu, Clementine Ford dalam bukunya berjudul “Boys will be boys: Power, patriarchy and toxic masculinity” (2019) menunjukkan bahwa pendidikan yang tidak membangun kesetaraan gender berpotensi menghasilkan konstruksi maskulinitas toxic yang akan semakin mendorong tingginya angka kekerasan berbasis gender, dan terbatasnya keterlibatan laki-laki dalam peran pengasuhan dan kerja-kerja domestik.
PAUD adalah titik awal yang strategis untuk membangun kesetaraan gender. Periode emas perkembangan anak—sering disebut sebagai golden age merupakan masa di mana nilai-nilai dasar mulai terbentuk.
Kurikulum masih banyak didominasi representasi tradisional—ibu mengurus rumah, ayah bekerja; anak laki-laki berperan sebagai pemimpin, anak perempuan sebagai pengikut.
Guru PAUD memiliki posisi strategis sebagai agen perubahan sosial. Namun, mereka sering kali tidak dilengkapi dengan pelatihan dan sumber daya yang cukup untuk memahami isu gender.
Dalam studi yang dilakukan penulis sejak tahun 2009 sampai 2024 ditemukan bahwa sebagian besar guru PAUD di Indonesia belum memahami sepenuhnya konsep kesetaraan gender dan cenderung mengulang pola pengasuhan tradisional.
Materi dan sumber belajar serta media pembelajaran perlu direvisi agar merepresentasikan keragaman peran dan membongkar stereotip yang membatasi peran gender laki-laki dan perempuan.
Tujuan dari pendidikan berbasis gender bukanlah membuat anak laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Tujuannya adalah agar setiap anak memiliki kesempatan sama untuk berkembang berdasarkan minat, bakat, dan potensinya tanpa dibatasi stereotip gender.
Anak laki-laki perlu diajarkan bahwa menangis bukan tanda kelemahan, bahwa memasak dan merawat bukan hanya tugas perempuan. Anak perempuan harus diberi ruang untuk memimpin, berbicara lantang, dan mengembangkan logika, bukan sekadar empati.
Kerangka holistik-integratif dan responsive gender
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2013 telah mendorong pendekatan Holistik-Integratif (HI) dalam layanan PAUD, mencakup aspek pendidikan, kesehatan, gizi, pengasuhan, dan perlindungan.
Buku cerita yang digunakan tidak melulu menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah, tetapi menampilkan variasi peran sosial tanpa mengikat pada jenis kelamin tertentu.
Sedangkan dalam bidang kesehatan dan gizi, perlu dipastikan tidak ada bias dalam memberikan layanan; baik anak perempuan dan laki-laki harus mendapatkan perawatan yang setara.
Sementara dalam aspek pengasuhan, orangtua dan guru perlu diajak menyadari pentingnya memberikan cinta, perhatian, dan tanggung jawab secara setara kepada anak laki-laki maupun perempuan.
Selain itu, perlu ada upaya untuk lebih melibatkan ayah dalam proses pengasuhan sehingga tidak ada lagi anggapan yang memandang bahwa pengasuhan hanyalah tugas ibu semata.
Isu kesetaraan gender tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada guru atau lembaga PAUD. Diperlukan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Orangtua harus diajak terlibat aktif, termasuk dalam kelas-kelas parenting yang mengangkat tema kesetaraan.
Pemerintah daerah bisa menyusun kebijakan pendidikan anak usia dini yang berpihak pada kesetaraan. Misalnya melalui regulasi kurikulum, anggaran pelatihan, dan monitoring yang lebih kuat.
Organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga dapat memainkan peran penting dalam membangun kesadaran gender di komunitas akar rumput. Program-program kolaboratif antara PAUD dan komunitas dapat memperkuat efek perubahan sosial.
Jika benar kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 sebuah visi besar tentang Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera, maka kesetaraan gender harus dimulai dari anak-anak kita.
Hal ini dapat dimulai dari ruang kelas PAUD, dari buku cerita yang mereka baca, dari guru yang memperlakukan mereka dengan adil, dari orangtua yang memberi cinta tanpa membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan.
Generasi yang tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu dalam relasi gender. Generasi yang akan memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih setara, manusiawi, dan bermartabat.