Anak Telanjur Terpengaruh Konten Berbahaya di Media Sosial, Orangtua Harus Apa?

– Media sosial tidak hanya digunakan oleh anak remaja, tetapi juga orang dewasa. Beragam manusia dari berbagai latar belakang bebas mengaksesnya.
Salah satu jenis konten berbahaya yang sedang ramai dibicarakan adalah radikalisme gender yang mencakup maskulinitas toksik dan misogini. Topik ini ramai dibicarakan berkat serial Netflix berjudul “Adolescence”.
“Penting untuk melihat bahwa anak dan remaja itu sebagai korban. Mereka sebenarnya juga korban dari orang-orang yang enggak bertanggungjawab di belakang layar,” terang psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi kepada Kompas.com, Minggu (13/4/2025).
Sebagai informasi, selain berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat, Agnes juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Anak Terpengaruh Konten Berbahaya di Media Sosial, Orangtua Harus Apa?
Orangtua sebaiknya tidak panik dan harus memahami cara yang tepat untuk merespons. Langkah penuh empati adalah kunci utama untuk mengajak anak kembali ke arah yang lebih sehat.
1. Penerimaan tanpa penghakiman
Bukan hal yang mudah bagi orangtua menerima apa yang anak mereka telah lakukan, termasuk sesimpel sang anak mengata-ngatai temannya yang berlawanan jenis.
2. Connection before correction
Bonding atau ikatan antara orangtua dan anak sangatlah penting. Dengan begitu, anak akan lebih terbuka dengan apapun yang dilihat dan dialaminya di media sosial.
Menurut Agnes, membangun koneksi dengan anak membuat orangtua lebih memahami mereka. Jadi, “koreksi” yang dilakukan terhadap perilaku anak tepat sasaran.
“Yang penting, bangun koneksinya dulu. Dengan koneksi ini, orangtua bisa paham kenapa anak melakukan itu, dan apa yang terjadi sebenarnya,” papar dia.
3. Libatkan penegak hukum
Apabila perilaku anak merugikan orang lain, bahkan sampai masuk ranah tindak kriminal seperti yang dilakukan Jamie, libatkan penegak hukum dan dinas sosial.
“Kemudian, berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum juga bisa ke UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak),” tutur Agnes.