Menyibak Sisi Gelap Media Sosial Bagi Remaja lewat Film "Adolescence"

Jebakan validasi di media sosial, Menumbuhkan penghargaan diri, Perundungan berevolusi, Aturan media sosial untuk anak di Indonesia

Salah satunya karena seluruh episode di serial ini diambil menggunakan teknik "one-take". Artinya, keempat episode di serial ini direkam dalam sekali pengambilan, di mana hal ini cukup sulit dan jarang dilakukan oleh sineas.

Bukan cuma itu, tema yang diangkat serial Adolescence juga banyak disorot. Adolescence mengisahkan seorang remaja berusia 13 tahun bernama Jamie Miller (Owen Cooper), yang menjadi tersangka kasus pembunuhan seorang gadis, yang tak lain adalah teman sekelasnya.

Sutradara Adolescence, Jack Thorne dan co-creator Stephen Graham, ingin menggambarkan bagaimana paparan media sosial dan internet sejak dini memengaruhi pembentukkan identitas remaja.

Sedikit spoiler, serial ini menggambarkan bagaimana Jamie terjebak dalam gagasan toxic (berbahya) yang ia temukan di dunia maya. Ide yang kemudian ia yakini menjadi jawaban atas kegelisahan dan kerendahan diri khas "ABG" (anak baru gede).

Pemilihan topik ini bukan tanpa alasan. Thorne yang juga menulis naskah serial ini, memiki keinginan agar para pemangku kebijakan tergerak untuk meregulasi akses media sosial oleh anak dan remaja.

"Jika saya berusia 13 tahun (sebagaimana usia tokoh Jamie di serial Adolescence) dan merasa sendirian, terisolasi, dan tidak menarik, hal-hal ini (gagasan berbahaya) kedengarannya seperti jawaban atas rasa sakit saya," jelas Thorne.

Jebakan validasi di media sosial

Hal ini tak luput dari bagaimana media sosial bekerja. Hampir semua media sosial populer, mengandalkan algoritma untuk tetap membuat pengguna mereka tak meninggalkan platformnya.

Menurut Dr. Kamna Chibber, Kepala Kesehatan Mental, Departemen Kesehatan Mental dan Ilmu Perilaku, Fortis Healthcare, konsekuensi psikologis dari siklus tersebut sering kali diremehkan.

"Media sosial menumbuhkan budaya kepuasan instan. Remaja sering kali menyamakan harga diri mereka, sesuai dengan bagaimana orang lain memandang mereka secara online, yang menyebabkan meningkatnya kecemasan, keraguan diri, dan bahkan cenderung depresif," kata Chibber, dirangkum dari India Today.

Ia menambahkan, validasi eksternal ini bisa menjadi hal yang candu. Setiap angka like, share, komentar, atau views yang diterima di unggahan media sosial, meningkatkan dopamin, yang memicu keinginan untuk mendapatkan kesenangan instan itu lebih banyak dan berkelanjutan.

Apabila validasi yang diharapkan tidak sesuai, seperti jumlah like yang sedikit, views turun atau bahkan komentar negatif, maka akan timbul penarikan diri secara emosional atau bahkan perilaku agresif.

Jebakan validasi di media sosial, Menumbuhkan penghargaan diri, Perundungan berevolusi, Aturan media sosial untuk anak di Indonesia

Dengan kesepakatan jelas dan pengawasan yang tepat, gawai pada anak bisa mendukung pendidikan dan interaksi sosial tanpa mengganggu fokus belajar.

Seperti dikatakan di awal, topik ini terdengar klise, namun cukup sulit dibawa dalam topik obrolan di "ruang keluarga", antara anak dan orang tua.

Serial Adolscence juga secara apik mampu menggambarkan kebingungan orang tua di era digital ini. Bagaimana mereka harus bersikap saat anak mereka larut dalam dunia maya, di mana batas antara pengawasan dan ranah privasi cukup tipis.

Swati Copra, seorang ibu dari anak berusia 9 tahun yang juga khawatir dengan fenemona ini, memiliki kiat untuk melakukan "self-validation" untuk mendidik anak.

"Ketika anak saya mencapai sesuatu, pertanyaan saya pertama adalah 'kamu bangga, enggak dengan dirimu sendiri?' Saya ingin dia menghargai dirinya sendiri dan merasa bangga dari dalam dirinya," katanya.

"Tentu saja, setelah itu, saya bilang kepadanya bahwa saya juga bangga, tapi saya ingin dia mengakui capaian itu lebih dulu sebelum orang lain," imbuhnya.

Melansir India Today, ia bercerita bawah anaknya pernah menanyakan soal iklan aplikasi kencan yang muncul di YouTube, ketika sedang menonton video sepakbola.

Swati mengatakan, dengan tidak menjawab atau menghidari untuk menjelaskan, anak akan berusaha mencari jawaban di tempat lain termasuk dunia maya, di mana hal ini justru bisa lebih berbahaya.

Hal itu juga diamini Chibber. Ketika orang tua tidak menjelaskan suatu hal, anak justru akan semakin penasaran, sehingga terdorong menjadi jawaban di tempat lain.

Perundungan berevolusi

Salah satu emoji yang disinggung di serial tersebut, yakni emoji pil merah (red pill). Emoji itu seharusnya biasa dan tidak berbahaya.

Selain itu, banyak pula slang atau akronim yang kerap digunakan untuk merundung, seperti "incel" (Involuntary Celibates) yang merujuk pada kelompok pria yang menyalahkan wanita, feminisme, dan masyarakat atas kegagalan mereka dalam menjalin hubungan.

Hal ini menunjukkan bahwa perundungan di dunia digital telah berevolusi. Apa yang sebelumnya tampak biasa dan tidak berbahaya, kini memiliki pesan tersirat yang destruktif.

"Satu komentar negatif, bisa terasa sangat berat bagi seorang remaja. Tanpa intervensi, hal ini bisa menyebabkan tekanan emosional yang parah," jelasnya, dirangkum KompasTekno dari India Today, Jumat (4/4/2025).

Aturan media sosial untuk anak di Indonesia

Jebakan validasi di media sosial, Menumbuhkan penghargaan diri, Perundungan berevolusi, Aturan media sosial untuk anak di Indonesia

Presiden Prabowo Subianto saat meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Tata Kelola Penyelenggaran Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP Tuntas di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (28/3/2025). Cara Ikut Open House di Istana, Masyarakat Bisa Ucapkan Hari Raya ke Presiden

Akses media sosial oleh anak menjadi salah satu perhatian pemerintah Indonesia. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak, pada Jumat (28/3/2025).

Prabowo mengatakan bahwa PP ini berawal dari Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid yang mendatanginya di Istana beberapa waktu lalu.

Salah satu yang diatur dalam PP Tuntas adalah batas usia anak mengakses media sosial. Menurut Meutya, pembatasan usia dan pengawasan dalam pembuatan akun digital dimaksudkan sebagai upaya memastikan anak mengakses media sosial di usia yang sudah cukup matang.

"Sekali lagi, ini bukan pembatasan akses secara umum. Kalau anaknya menggunakan milik orang tua, dengan pendampingan orang tua, itu diperbolehkan," ujar Meutya di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (28/3/2025), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

PP ini juga mengatur perkara sanksi yang bisa dijatuhkan kepada platform yang melanggar.
Menkomdigi menekankan bahwa platform tidak boleh memperlakukan anak-anak sebagai komoditas.