Serial "Adolescence" Sebaiknya Ditonton Guru dan Orangtua

Film ini didiskusikan oleh parlemen Inggris. Jack Thorne, sutradaranya, menyarankan agar undang-undang yang melarang akses media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun segera disahkan.
Episode kedua mengungkap sistem pendidikan yang hanya berfokus pada capaian akademik. Sekolah Jamie menjadi arena perundungan dan persaingan akademik yang mengabaikan kebutuhan emosional siswa.
Pendidikan seharusnya bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga internalisasi nilai-nilai moral yang memungkinkan seseorang menjadi bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab.
Dr. Julien Kloeg dari Erasmus Universiteit Rotterdam, ketika mengkritik argumen filsuf Hannah Arendt tentang pendidikan, menguraikan bahwa pendidikan berada dalam zona ambigu antara ranah privat dan publik.
Pendidikan bukan semata-mata bagian dari masyarakat atau publik, tetapi ruang antara yang memungkinkan interaksi antara dua ranah tersebut tanpa menghilangkan esensi dari masing-masing.
Adolescence menunjukkan bagaimana Jamie hidup di antara dunia privat (keluarga) dan dunia publik (media sosial). Kurangnya keseimbangan dari kedua dunia tersebut menyebabkan Jamie mencari pengakuan dan pemahaman dari dunia digital yang justru memperparah isolasinya.
Pengaruh dunia digital yang menimbulkan ketidakseimbangan di atas dituangkan dalam episode ketiga. Jamie terpapar ide misoginis dan narasi incel (involuntary celibacy) yang mengaburkan pandangannya terhadap dunia nyata.
Sosiolog dan filsuf Perancis ini menekankan bahwa kuasa simbolik bekerja melalui norma, bahasa, dan simbol yang diterima secara alami oleh masyarakat tanpa disadari.
Adolescence menunjukkan bahwa norma-norma yang dibangun melalui media sosial mendominasi pemikiran Jamie lebih kuat daripada pendidikan formal dan pola asuh orangtua yang ia terima.
Pernyataan Stephen Graham, co-director Adolescense, bahwa peran internet kini "sama signifikannya dalam mengasuh anak-anak seperti halnya kita" menggarisbawahi fakta bahwa pola pengasuhan kini telah melibatkan dunia digital secara langsung.
Seperti yang ditanyakan oleh seorang ibu kepada putranya setelah bersama-sama menonton Adolescense, "Saat kamu tidak tahu bagaimana caranya ngobrol dengan perempuan atau bingung mengenai baju yang akan kamu pakai, ke mana kamu cari bantuan?"
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bertujuan memberikan bimbingan agar anak dapat tumbuh sesuai kodrat pribadinya serta lingkungan yang memengaruhinya.
Adolescence menunjukkan bahwa ketika pendidikan formal, dan keluarga gagal menyediakan ruang yang mendukung untuk pengembangan karakter, anak-anak akan mencari jawaban di dunia digital yang tidak selalu mengarahkan mereka pada kebaikan.
Adolescence membuka mata kita bahwa tantangan di era digital bukan hanya tentang bagaimana mengontrol teknologi, tetapi lebih dari itu, bagaimana menciptakan dialog yang sehat di tengah derasnya arus informasi.
Refleksi kritis, kepedulian terhadap anak atau murid tidak melulu tentang akademik. Komunikasi yang autentik adalah fondasi yang harus dibangun guru dan orangtua.