Apa Itu Incel dan Ideologi Radikalisme Gender dalam Serial Adolescence?

Serial ini menceritakan tentang kisah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun bernama Jamie. Ia adalah seorang anak yang tampaknya baik-baik saja dan gemar bermain komputer di kamarnya.
Setelah ditelusuri lebih lanjut melalui penyidikan dan penilaian dari seorang psikolog anak, terungkap bahwa Jamie beraksi karena terpapar ideologi radikalisme gender dan incel.
Apa itu ideologi radikalisme gender?
Dikutip dari berbagai sumber, radikalisme gender adalah ideologi ekstrem yang berkaitan dengan isu gender, seperti maskulinitas toksik (toxic masculinity) dan misogini.
Terkait maskulinitas toksik, radikalisme gender dapat membuat seorang laki-laki harus mengikuti “standard” tertentu, agar mereka dipandang sebagai “laki-laki sejati” di lingkungannya.
Contohnya mencakup laki-laki harus selalu menjadi sosok yang kuat, tidak boleh menangis, menolak pekerjaan rumah tangga saat sudah berkeluarga, dan harus menyukai olahraga.
Apa itu ideologi incel?
Dikutip dari Kompas.id, Selasa (15/4/2025), incel (involuntary celibate) adalah inidividu atau komunitas laki-laki yang merasa berhak atas hubungan seksual dan romansa, tetapi tidak mendapatkannya.
Seperti yang ditulis dalam makalah dari jurnal Current Psychiatry Reports berjudul “Involuntary Celibacy: A Review of Incel Ideology and Experiences with Dating, Rejection, and Associated Mental Health and Emotional Sequelae”, mereka menyalahkan perempuan dan masyarakat atas keadaan tersebut.
Dalam makalah dari jurnal Studies in Conflict & Terrorism berjudul “Assessing the Threat of Incel Violence”, ideologi incel berkeyakinan bahwa perempuan merupakan pihak yang salah.
Seperti apa kaitannya dengan "Adolescence"?
Dalam serial “Adolescence”, Jamie merasa tidak percaya diri untuk mendekati perempuan karena merasa dirinya jelek. Ia juga tidak jago dalam bidang olahraga, seperti yang diharapkan ayahnya.
Usianya yang masih 13 tahun membuat dirinya belum pandai mengelola emosi dengan baik, serta menggunakan nalar dan berpikir kritis saat terpapar konten berbau radikalisme gender dan incel.
Ketika memasuki forum daring bernama “Manosphere”, forum yang mewadahi ideologi-ideologi tersebut, Jamie merasa dirangkul. Penusukan terhadap Katie pun terjadi.
Orangtua harus melek digital
Psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. mengatakan, orangtua perlu melek secara digital dengan menerapkan digital parenting untuk membentengi anak-anaknya dipengaruhi oleh konten berbahaya.
“Orangtua perlu punya pengetahuan atau update tentang dunia internet saat ini, perannya (dalam hidup anak) seperti apa, dan aplikasi seperti apa yang digunakan oleh anak,” terang Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat kepada Kompas.com, Minggu (13/4/2025).
“Orangtua perlu menjadi ruang yang aman dan nyaman untuk anak agar mereka bisa menceritakan pengalamannya, termasuk hal yang mungkin menyenangkan dan tidak menyenangkan, di dunia online,” tutur Agnes.
Dengan kata lain, orangtua harus bisa menjadi tempat anak-anak bebas menanyakan apapun yang mereka temukan di dunia maya, tanpa menghakimi mereka lebih dulu.
Mendiskusikan batasan penggunaan media sosial dengan anak juga penting. Selain menjaga screen time dan konten yang dikonsumsi, tetapi juga untuk melatih anak berpikir kritis.
Orangtua perlu menjelaskan mengapa penggunaan media sosial dibatasi, mengapa beberapa konten boleh dan tidak boleh dikonsumsi, dan mengapa beberapa aplikasi boleh dan tidak boleh dipakai.
“Jadi, anak tahu yang benar atau tidak. Enggak asal menerima. Kalau enggak dilatih berpikir kritis, mereka hanya menerima tanpa bertanya saat dicekokin (konten berbahaya),” jelas Agnes.
Kesetaraan gender adalah kesamaan hak, peran, posisi, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Keduanya berhak menerima dan menjalani kehidupan yang layak.
“Kalau dibekali dengan benar, aku rasa norma gender yang mereka punya jadi lebih positif. Pada akhirnya, perilaku anak terhadap lawan jenis dan dia sebagai laki-laki atau perempuan, juga jadi lebih tepat,” imbuh Agnes.
Artinya, ketika anak terpapar konten radikalisme gender, mereka bakal sekadar melihatnya sebagai bahan diskusi dengan orangtua, tanpa terpengaruh. Sebab, apa yang dilihat berbeda dengan apa yang mereka pahami tentang gender.
“Inilah yang difasilitasi dengan berpikir kritis. Jadi, anak bisa mempertanyakan apa yang dilihat, enggak menerimanya secara mentah-mentah,” pungkas Agnes.