Digital Parenting Bantu Cegah Anak Terpengaruh Radikalisme Gender, Belajar dari Serial Adolescence

Serial itu menceritakan tentang remaja laki-laki berusia 13 tahun, Jamie, yang membunuh teman sekolahnya, Katie, karena terpapar radikalisme gender seperti maskulinitas toksik dan misogini di media sosial.
Umumnya, remaja yang terpapar radikalisme gender memiliki pemahaman yang terlalu fanatik terkait gender, dan sering melibatkan tindakan yang merugikan orang lain.
Psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. mengatakan, orangtua perlu melek secara digital dengan menerapkan digital parenting untuk membentengi anak-anaknya dipengaruhi oleh konten berbau radikalisme gender.
“Orangtua perlu punya pengetahuan atau update tentang dunia internet saat ini, perannya (dalam hidup anak) seperti apa, dan aplikasi seperti apa yang digunakan oleh anak,” terang Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat kepada Kompas.com, Minggu (13/4/2025).
Bentengi anak dari konten berbahaya
Dalam serial “Adolescence”, Jamie memang anak rumahan yang anteng dan tidak pernah berbuat masalah. Ia selalu berada di dalam kamarnya bermain komputer.
Dikutip dari Kompas.id, Selasa (15/4/2025), incel adalah individu atau komunitas laki-laki yang merasa berhak atas hubungan seksual dan romansa, tetapi tidak mendapatkannya.
Seperti yang ditulis dalam makalah dari jurnal Current Psychiatry Reports berjudul “Involuntary Ceibacy: A Review of Incel Ideology and Experiences with Dating, Rejection, and Associated Mental Health and Emotional Sequelae”, mereka menyalahkan perempuan dan masyarakat atas keadaan tersebut.
Dalam makalah dari jurnal Studies in Conflict & Terrorism berjudul “Assessing the Threat of Incel Violence”, ideologi incel berkeyakinan bahwa perempuan merupakan pihak yang salah.
Lantaran orangtua Jamie dan orang dewasa di sekitarnya tidak memahami kegiatan digital Jamie, mereka menyalahartikan emoji yang digunakan oleh Katie dalam unggahan media sosial Jamie.
Komunikasi terbuka antara orangtua dan anak
“Orangtua perlu menjadi ruang yang aman dan nyaman untuk anak agar mereka bisa menceritakan pengalamannya, termasuk hal yang mungkin menyenangkan dan tidak menyenangkan, di dunia online,” tutur Agnes.
Dengan kata lain, orangtua harus bisa menjadi tempat anak-anak bebas menanyakan apapun yang mereka temukan di dunia maya, tanpa menghakimi mereka lebih dulu.
Dengan begitu, mereka bisa mengetahui konten apa saja yang sudah dilihat Jamie, dan mengetahui bahwa emoji yang digunakan Katie berkaitan dengan perundungan daring.
Sepakati batasan lewat diskusi
Selanjutnya adalah mengatur batasan dalam bermain media sosial. Agnes menjelaskan, remaja berbeda dengan anak kecil yang bisa nurut ketika waktu bermain media sosial mereka dibatasi selama 10 menit setiap hari.
“Kalau dengan remaja, orangtua perlu membangun diskusi. Harus setara, harus memperlakukan mereka kayak orang dewasa. Jadi, pembatasan itu didiskusikan karena berkaitan dengan perkembangan otak dan koginitif,” ujar dia.
Ketika berdiskusi, orangtua bisa melatih kemampuan anak untuk berpikir kritis. Orangtua jangan langsung membatasi penggunaan media sosial anak, konten yang dilihat, dan aplikasi yang digunakan.
Orangtua perlu menjelaskan mengapa penggunaan media sosial dibatasi, mengapa beberapa konten boleh dan tidak boleh dikonsumsi, dan mengapa beberapa aplikasi boleh dan tidak boleh dipakai.
“Jadi, anak tahu yang benar atau tidak. Enggak asal menerima. Kalau enggak dilatih berpikir kritis, mereka hanya menerima tanpa bertanya saat dicekokin (konten berbahaya),” jelas Agnes.
Bekali anak dengan kesetaraan gender
Kesetaraan gender adalah kesamaan hak, peran, posisi, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Keduanya berhak menerima dan menjalani kehidupan yang layak.
“Bekali tentang pendidikan seksualitas yang komprehensif, termasuk seperti apa dia melihat identitas dirinya sebagai laki-laki atau perempuan,” kata Agnes.
Kesetaraan gender juga dapat membuat anak lebih siap dalam menjalin relasi dengan orang lain, serta menciptakan pandangan maskulinitas dan feminitas yang lebih positif.
“Kalau dibekali dengan benar, aku rasa norma gender yang mereka punya jadi lebih positif. Pada akhirnya, perilaku anak terhadap lawan jenis dan dia sebagai laki-laki atau perempuan, juga jadi lebih tepat,” imbuh Agnes.
Artinya, ketika anak terpapar konten radikalisme gender, mereka bakal sekadar melihatnya sebagai bahan diskusi dengan orangtua, tanpa terpengaruh. Sebab, apa yang dilihat berbeda dengan apa yang mereka pahami tentang gender.
“Inilah yang difasilitasi dengan berpikir kritis. Jadi, anak bisa mempertanyakan apa yang dilihat, enggak menerimanya secara mentah-mentah,” pungkas Agnes.