Menggeser Paradigma PAUD, dari Objek Investasi Jadi Subjek Hak Anak

Ketika berbicara tentang pendidikan anak usia dini (PAUD), sering kali suara yang terdengar adalah suara orang dewasa, bukan anak-anak yang menjadi subjek utama dari proses ini.
Padahal, sejak dalam kandungan hingga usia enam tahun, seorang anak mengalami pertumbuhan otak dan perkembangan sosial-emosional yang luar biasa cepat, masa yang tidak bisa diulang.
Namun, apakah sistem, kebijakan, dan lingkungan kita sudah cukup siap untuk mengiringi masa krusial ini? Apakah kita, sebagai masyarakat, masih melihat PAUD sebagai beban negara atau justru sebagai tanggung jawab bersama?
Didorong oleh Tanoto Foundation dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya, ECED Council hadir sebagai ruang kolaborasi antara akademisi, peneliti, praktisi, serta tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang yang memiliki perhatian besar terhadap tumbuh kembang anak usia dini.
Sebaliknya, wadah tersebut menjadi jembatan kolaboratif yang menyatukan pengetahuan, praktik baik, dan agenda advokasi lintas sektor untuk menciptakan ekosistem yang mendukung anak belajar sejak lahir.
ECED Council hadir melalui pendekatan yang menempatkan anak sebagai subjek pemilik hak, bukan hanya sekadar objek investasi masa depan. Organisasi ini pun mendorong perubahan cara pandang terhadap pendidikan usia dini.
Otak anak, investasi yang tidak bisa diulang
Di masa ini, otak berkembang sangat cepat hingga mencapai 90 persen dari ukuran otak dewasa dan paling elastis atau fleksibel terhadap stimulasi.
- Otak mulai berkembang sejak dalam kandungan.
- Kombinasi genetik dan pengalaman awal membentuk arsitektur otak.
- Kemampuan belajar menurun seiring bertambahnya usia.
- Fondasi kesuksesan akademik dan sosial dibangun sejak dini.
- Stres kronis di usia dini dapat mengubah struktur otak secara permanen.
PAUD: investasi atau pemenuhan hak?
Dalam diskusi global seputar PAUD, perdebatan kerap mengerucut pada dua kutub utama: apakah PAUD adalah bentuk investasi masa depan, atau pemenuhan hak dasar anak sejak lahir?
Pandangan pertama, PAUD sebagai investasi mendapat penguatan dari pendekatan ekonomi yang dikembangkan oleh James J Heckman, ekonom peraih Nobel yang mendedikasikan penelitian panjangnya untuk memahami dampak pendidikan anak usia dini terhadap individu dan masyarakat.
Melalui dua studi besar di Amerika Serikat—High/Scope Perry Preschool di Michigan (dimulai tahun 1962) dan program Abecedarian/CARE di Carolina Utara (dimulai pada 1972), Heckman meneliti efek jangka panjang program PAUD berkualitas tinggi terhadap anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah.
Manfaat itu berasal dari peningkatan prestasi pendidikan dan karier anak-anak, serta penghematan dalam bidang kesehatan, pendidikan remedial, hingga pengurangan risiko kriminalitas.
Penelitian kedua bahkan menemukan pengembalian yang lebih tinggi, 13 persen per anak per tahun. Ini berkat intervensi menyeluruh sejak usia 0–5 tahun yang berdampak pada kualitas pendidikan, kesehatan, dan produktivitas anak nantinya.
- Kemampuan kognitif dan sosial anak dibentuk sejak usia sangat dini, dan keduanya sangat menentukan kesuksesan pada masa depan;
- Investasi paling tinggi hasilnya adalah yang dilakukan di usia dini;
- Dukungan kepada anak-anak dari kelompok rentan memberikan manfaat besar bagi masyarakat secara keseluruhan; dan
- Ekonomi yang kuat dibangun dari intervensi dini yang berkualitas pada anak usia dini.
Pandangan tersebut diadopsi oleh banyak negara maju, yang lalu meningkatkan anggaran dan perhatian pada sektor PAUD sebagai strategi pembangunan ekonomi jangka panjang.
Jika pendekatan investasi menjadi satu-satunya landasan, maka ada risiko bahwa kelompok anak-anak ini tidak akan mendapatkan perlakuan yang setara—padahal mereka pun berhak atas pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan yang layak.
Inilah yang kemudian mendorong perubahan paradigma global: anak usia dini bukan sekadar obyek investasi, tetapi subjek penuh hak asasi manusia (HAM).
Namun sejak 2015, melalui Sustainable Development Goals (SDGs) dan Deklarasi Incheon, negara-negara mulai berkomitmen menyediakan akses prasekolah minimal satu tahun secara gratis.
Di Asia Tenggara, langkah maju ini diperkuat lewat Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Early Childhood Care and Education (ECCE) pada Juli 2023, hasil kolaborasi berbagai lembaga, termasuk Tanoto Foundation, SEAMEO CECCEP, UNICEF, ARNEC, dan Direktorat PAUD Kemendikdasmen.
Puncaknya, pada Juli 2024, Dewan HAM PBB menyepakati penyusunan optional protocol yang secara eksplisit mengakui pendidikan anak usia dini sebagai bagian dari hak pendidikan.
Membangun ekosistem belajar sejak lahir
Langkah maju telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, di mana pemerintah mencanangkan percepatan wajib belajar 13 tahun, termasuk satu tahun prasekolah.
Di sisi lain, masih banyak orangtua yang belum memahami bahwa proses belajar tidak dimulai saat anak masuk TK belajar dimulai sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan.
Pengasuhan awal oleh keluarga dan lingkungan terdekat sangat krusial. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem belajar yang tidak bergantung semata pada institusi pendidikan formal.
Dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak
Pemerintah, dunia pendidikan, komunitas, media, dan sektor swasta memiliki peran masing-masing untuk membentuk lingkungan yang aman, stimulatif, dan penuh kasih sayang.
Anak bukan hanya masa depan bangsa, tetapi bagian dari kita hari ini. Mereka punya hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan mendukung perkembangan optimalnya.
Seperti pepatah Afrika yang berbunyi: “It takes a village to raise a child”. Artinya, dibutuhkan satu desa—seluruh komunitas—untuk membesarkan seorang anak.
Masyarakat, khususnya orangtua, merupakan bagian integral dari hal itu. Oleh karena itu, mari bergerak bersama untuk mendukung masa depan anak-anak Indonesia ke depannya.