Makan Itu tentang Pulang ke Rumah

Saya menulis ini di kota Yogyakarta, bertepatan dengan libur panjang sekolah sekaligus akhir pekan “1 suro”.
Namun tujuan saya berkunjung bukan untuk vakansi – melainkan memberi seminar bagi orangtua tentang balita mereka yang “susah makan”, padahal di masa emas pertumbuhan anak-anak ini amat bergantung dengan nutrisi yang adekwat dan berkualitas.
Animo yang begitu besar dari para orangtua muda untuk belajar memahami tahapan pemberian makan, sekaligus perilaku makan anak-anaknya menunjukkan adanya suatu “celah” estafet generasi sebelumnya yang menyisakan tanda tanya besar.
Kabar baiknya, dari sekian banyak peserta, terselip wajah-wajah senior alias para nenek yang rupanya ikut antusias ingin mendengarkan.
Cukup mengherankan sebetulnya, karena tahapan tumbuh kembang anak tidak ada yang berubah sejak ribuan tahun lalu. Sebagaimana perempuan mengandung juga masih dalam rentang durasi yang sama, 9 bulan 2 minggu.
Dan prematuritas sejak zaman dahulu kala hingga hari ini masih menyisakan masalah, sehingga sedapat mungkin kehamilan dipertahankan cukup bulan hingga saatnya kelahiran itu terjadi.
Menu MPASI dibuat ruwet
Mungkin hanya di negri kita dimana makanan pendamping ASI begitu ruwet dan kisruh dengan aneka jurus maupun anjuran “mamagram” media sosial, padahal panduan nasional sudah ada, sudah jelas, sudah lengkap – termasuk dari buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dipertahankan warna sampulnya tetap “pink” (sehingga dikenal sebagai “buku pink”), walaupun sudah mengalami revisi berulang kali dalam beberapa tahun.
Belakangan Kementerian Kesehatan RI juga merilis poster yang semakin mudah dipahami untuk kebutuhan MPASI anak rentang usia 6-8 bulan, 9-11 bulan, 12-23 bulan dan 2-5 tahun. Jelas-jelas disebut bahwa MPASI dibuat berangkat dari menu keluarga.
Tapi fakta menyedihkan banyak orangtua masa kini tidak lagi sarapan. Sang ayah cukup minum kopi lalu pergi kerja. Sang ibu apalagi – diet keras mengembalikan bentuk tubuh sehabis melahirkan. Tinggallah si bayi kebingungan. Entah proses makan harus mencontoh siapa.
Di keluarga yang tidak lagi memberlakukan “masak sendiri” dan lebih merasa praktis beli lauk jadi, akhirnya sang anak juga terjebak produk kemasan yang jargonnya “terukur dan tertakar” – lebih-lebih lagi nakes mereka malah semakin menganjurkan ketimbang mengajari membuat MPASI sederhana yang bahan-bahannya semudah itu diambil dari makanan bapak ibunya.
Akibatnya, masalah baru muncul saat anak sudah menolak bubur dan perlu naik tekstur ditambah tumbuh gigi.
Orangtua baru sama sekali “clueless” alias tak punya gambaran – sementara nenek si bayi malah sibuk menyodorkan aneka biskuit kemasan “yang penting asal ada yang masuk”, bahkan ada yang tergiring iklan aneka susu formula dengan iklan brutal jauh dari etika.
Semakin banyak anak tidak lagi disusukan ibunya hingga dua tahun, tidak diberi menu keluarga dengan alasan anak melepeh dan menolak.
Padahal bukan salah menu keluarga, tapi orangtua tidak memahami stimulasi persiapan naik tekstur dan memelihara kebersihan gusi-mulut, agar tumbuh gigi bukan alasan untuk jadi demam atau susah makan.
Banyak balita kita sekarang dijejali menu-menu aneh hasil keviralan resep “mamagram”, yang biar lebih keren tentu dipoles dengan istilah asing.
Mulai dari banana pancake, nugget, spaghetti brule, oatmeal salmon and cheese, “chawan mushi” – yang begitu gegap gempitanya hingga mereka yang tinggal di Sleman atau Wonogiri merasa minder jika tidak ikutan bikin.
Mencintai makanan rumah
Padahal saya baru saja makan malam dengan nikmat di rumah makan sederhana yang menghidangkan mangut lele, pindang kudus, brongkos telur dan kacang tolo, botok mlanding, lodeh rebung dengan kulit melinjo. Begitu sedapnya hingga saya merasa harus tambah porsi.
Makan adalah tentang “pulang ke rumah”, soal asal usul, mengenai kearifan dari mana kita berasal.
Bukan berarti kita didik anak jadi kampungan tanpa mengenal makanan dari negri orang, tapi apa yang kita miliki justru kaya gizi.
Tanpa perlu bikin anak mencret karena kandungan susu dalam pancake dan keju olahan (bukan keju asli pula).
Tanpa perlu kejar-mengejar berat badan karena miskinnya pemahaman. Tanpa perlu menggugurkan ASI eksklusif demi MPASI dini, hanya karena sang ibu tidak menyadari pentingnya fokus menyusu pada anak yang sudah lebih matang perkembangan motorik dan sensoriknya mulai usia 4 bulan.
Mari cintai lagi makanan rumah, mari berjuang sedikit banyak untuk masa depan yang lebih membanggakan.
Mari jungkir balik sedikit untuk bisa melihat segala sesuatunya dengan kaca mata yang lebih terang: sebab anak-anak butuh panutan, siapa lagi kalau bukan orang tuanya? Anak-anak butuh pendampingan, siapa lagi jika bukan ayah bundanya?