Ekspektasi vs Realita, Menguak Peran Fotografi dalam Promosi Desa Wisata

desa wisata, Indonesia, fotografi, Desa Wisata, Ekspektasi vs Realita, Menguak Peran Fotografi dalam Promosi Desa Wisata

Di tengah geliat pengembangan desa wisata yang kini merambah ke berbagai pelosok Indonesia, fotografi hadir bukan sekadar pelengkap.

Ia menjelma menjadi medium yang mampu menyuarakan keunikan, merawat identitas, hingga membawa pesan visual ke jagat maya.

Begitulah pandangan Mas Agung Wilis Yudha Baskoro, fotografer kenamaan yang menegaskan betapa foto bisa menjadi gerbang awal pengunjung mengenal desa wisata.

“Menurut saya penting sebagai salah satu aspek dari perkembangan desa wisata, karena publikasi visual desa wisata yang diangkat seperti apa,” ujar pria yang biasa disapa Agung Wilis kepada Kompas.com.

Baginya, gambar adalah pintu gerbang pertama sebelum langkah benar-benar diayunkan ke desa. Dimana foto bisa menjadi pemantik rasa ingin tahu, tapi juga sekaligus penentu kesan awal.

Seperti kenangannya saat pertama kali mendokumentasikan festival Ngayogjazz di Desa Wisata Brayut yang menjadi contoh hidup dari pentingnya peran visual.

"Yang pertama kali pengunjung datang yang dilihat ya titik atau tempat ini bagus visual dan sebagainya. Jadi menurutku penting banget, apalagi sekarang zaman sosial media, gambar, video, atau foto itu,” imbuhnya.

Ketika Viral Tak Selalu Ideal

Kini di tengah kemudahan satu klik yang bisa mengubah desa sunyi jadi destinasi viral, untuk iti Agung Wilis juga mengingatkan bahwa popularitas bukanlah tujuan akhir.

Untuk itu ia menyoroti fenomena “ekspektasi vs realita” yang sering terjadi. Foto tampak indah, tapi saat tiba di lokasi, pengunjung merasa tertipu. Baginya, itu bukan penipuan, tapi wajar adanya.

desa wisata, Indonesia, fotografi, Desa Wisata, Ekspektasi vs Realita, Menguak Peran Fotografi dalam Promosi Desa Wisata

Sejumlah pengunjung menikmati salah satu pilihan wisata petik buah jambu kristal yang berada di desa wisata Bumiaji Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu (5/7/2025) siang.

“Kalau baik juga bukan berarti desa wisata itu terus bersantai-santai. Kalaupun buruk, bukan berarti sakit hati. Terlepas dengan adanya itu, desa wisata juga tetap harus berinovasi, tiap tahun harus ada yang beda,” ujar pemenang kategori foto tunggal World Press Photo (WPP) 2025 untuk kawasan Asia Pasifik dan Oseania.

“Kalau ada yang seperti itu namanya landscape, sebuah keadaan pasti ada perubahannya. Kalau itu terjadi ya tergantung. Kalau dia mencintai fotografi, pasti mencintai momen-momen di matanya,” sambungnya.

Hadir dengan Hati, Menjepret dengan Empati

Agung mengajak siapapun yang datang ke desa wisata, baik fotografer, jurnalis, maupun wisatawan untuk hadir bukan sebagai tamu yang melihat dari balik jendela, tapi sebagai manusia yang ingin memahami.

“Yang pertama jelas enjoy, momen itu harus menyenangkan. Kalau bisa datang dengan keadaan senang, terbuka dengan pengetahuan baru, ibaratnya datang sebagai gelas kosong,” kata Agung Wilis.

Sebab foto terbaik bukanlah soal teknik semata, melainkan bagaimana seseorang membangun kedekatan dengan subjek. Termasuk keterbukaan soal tujuan foto sebagai bentuk penghargaan.

“Kalau bisa anggaplah warga desa itu sebagai teman kita atau subjek yang kita hargai. Ya harus kenal dulu, izin dulu, harus tanya bersedia di foto atau tidak,” ucap pria lulusan studi Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

“Harus jujur, fotonya itu untuk apa. Misal akan diterbitkan di mana, digunakan untuk sosial media kah, atau publikasi media atau blog, bilang dari awal. Jika tidak bersedia ya sudah, jangan dipaksa."

"Tapi biasanya kalau jujur dan memulai dengan hati bergembira, itu pasti mau,” imbuhnya.

Selain itu ia juga meyakini bahwa soal alat bukanlah perkara besar. DSLR, mirrorless, hingga kamera ponsel, semuanya bisa jadi saksi cerita yang kuat, selama hubungan antara subjek dan fotografer terjalin dengan baik.

“Ketika sudah nyaman komunikasi fotografer dengan subjek ini terjalin dengan baik, otomatis kameranya apa saja tidak masalah,” kata mantan juri kompetisi fotografi Canon PhotoMarathon Asia di Yogyakarta.

desa wisata, Indonesia, fotografi, Desa Wisata, Ekspektasi vs Realita, Menguak Peran Fotografi dalam Promosi Desa Wisata

Sejumlah penghobi fotografi mendokumentasikan UMKM dalam kegiatan photo hunt Road to Lomba Foto Astra 2025 yang berada di Bumiaji Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu (5/7/2025) siang.

Menimbang Etika dan Empati dalam Transaksi

Meskipun dengan berkembangnya desa wisata dan fenomenanya, ia menyarankan cara-cara yang lebih manusiawi. Seperti membeli produk lokal, berdonasi, atau membayar tiket resmi, bukan karena foto tetapi sebagai wujud penghargaan atas pengalaman yang diberikan.

“Ketika kita datang ke lokasi sebagai wartawan dan memposisikan mereka sebagai objek foto dan narasumber tentu tidak boleh ngasi uang dalam bentuk imbalan yang menukar informasi," ujar Agung Wilis.

"Tapi kalau kita datang tidak sebagai jurnalis, datang sebagai pengunjung, memang di objek foto dikelola oleh pengelola pasti ada cara-cara lain untuk memberikan kontra prestasi,” pungkasnya.