Catatan Penting MAHUPIKI untuk Revisi KUHAP, Dari Batas Waktu Penyidikan hingga Perlindungan Tersangka

Catatan Penting MAHUPIKI untuk Revisi KUHAP, Dari Batas Waktu Penyidikan hingga Perlindungan Tersangka

KETUA Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Firman Wijaya menyampaikan sejumlah masukan penting terkait pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejumlah masukan itu disampaikan Firman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (22/7). ? Salah satu poin utama yang disoroti yakni perlunya ketegasan batas waktu tahap penyelidikan. Firman mengusulkan agar fase penyelidikan, termasuk tindakan penyelidikan, dibatasi maksimal enam bulan. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya mekanisme pengujian terhadap proses penyelidikan melalui lembaga praperadilan guna memastikan akuntabilitas. ? “Fase penyelidikan maupun tindakan penyelidikan ini harus memiliki ruang pengujian yang pasti. Kami mendorong agar tahap penyelidikan dapat diuji melalui mekanisme praperadilan agar tidak berlangsung tanpa batas,” ujar Firman. ? Firman juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap penyidik tertentu, termasuk istilah 'penyidik utama' yang dinilainya memerlukan kejelasan dan penataan ulang dalam aturan hukum.

Mengenai ketentuan dalam Pasal 59E RKUHAP, Firman menyoroti potensi ketidakseimbangan antara penyidik dan jaksa jika tidak ditemukan kesepakatan dalam gelar perkara. Dalam kondisi ini, ia mengusulkan agar waktu penyidikan tambahan oleh jaksa ditetapkan selama 60 hari, bukan hanya 14 hari sebagaimana tercantum dalam ayat 6 pasal tersebut.

“Kalau hanya diberikan waktu 14 hari, tentu tidak akan optimal. Kami usulkan penambahan Pasal 59E ayat 7 untuk memberi ruang keseimbangan sistem check and balance dalam proses penegakan hukum,” jelasnya.

Lebih lanjut, Firman juga mengusulkan agar kewenangan praperadilan tidak hanya terbatas pada upaya paksa, tetapi juga mencakup pelanggaran terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa yang dijamin dalam hukum acara pidana.

“Apabila dalam proses praperadilan terdapat pihak termohon yang sengaja menunda-nunda kehadiran atau tidak memenuhi panggilan sidang, kami mengusulkan agar dianggap melepaskan haknya untuk membuktikan, dan proses hukum dilanjutkan sesuai permohonan pemohon,” paparnya.

Ia menegaskan usul-usul tersebut bertujuan memperkuat prinsip akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana nasional.

“Ini merupakan upaya membangun sistem peradilan yang lebih adil, transparan, dan seimbang, di mana semua pihak bertanggung jawab dalam menegakkan hukum yang benar,” pungkasnya.(Pon)