Gelombang PHK Besar-besaran Terjadi Lagi, AI Jadi Biang Kerok

Dunia kerja tengah menghadapi perubahan besar-besaran yang tidak lagi terbatas pada sektor manufaktur. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kini meluas hingga ke sektor teknologi dan pekerja kantoran, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi dan selama ini dianggap memiliki keamanan kerja lebih stabil.
Salah satu penyebab utama dari pergeseran ini adalah kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI) yang mulai menggantikan peran manusia dalam berbagai lini pekerjaan.
Laporan terbaru dari firma konsultan karier Challenger, Gray & Christmas menunjukkan lonjakan drastis dalam jumlah PHK di Amerika Serikat.
Dilansir dari Daily Mail, Minggu, 10 Agustus 2025, angka PHK tahun ini meningkat 140 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan lebih dari 800.000 pemutusan kerja telah diumumkan hanya dalam tujuh bulan pertama tahun 2025. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak masa pandemi COVID-19 pada 2020.
Pada bulan Juli saja, perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS telah memangkas 62.075 pekerjaan, jauh meningkat dibanding 25.885 pada bulan yang sama tahun lalu. Jika dibandingkan dengan bulan Juni 2025, terjadi lonjakan sebesar 29 persen dari 47.999 PHK, menurut laporan tersebut.

Ilustrasi PHK
Beberapa perusahaan seperti Procter & Gamble tidak secara gamblang menyebutkan alasan PHK yang mereka lakukan, hanya mengaitkannya dengan restrukturisasi, otomatisasi, dan digitalisasi. Namun, para analis menyebut bahwa AI dan dampak kebijakan tarif perdagangan era Trump menjadi penyebab paling signifikan dari krisis pekerjaan ini.
"AI disebut sebagai penyebab lebih dari 10.000 PHK bulan lalu, sementara kekhawatiran soal tarif berdampak pada hampir 6.000 pekerjaan sepanjang tahun ini," ujar Andrew Challenger, penulis laporan dan pakar ketenagakerjaan dari Challenger, Gray & Christmas.
Industri teknologi tercatat sebagai sektor yang paling terdampak, dengan 89.251 PHK terjadi dalam tujuh bulan pertama 2025. Laporan tersebut menyebut, industri ini tengah mengalami perombakan besar karena kemajuan AI serta ketidakpastian yang terus berlanjut terkait visa kerja, yang turut berkontribusi pada pengurangan tenaga kerja.
Salah satu perusahaan teknologi besar, Amazon, termasuk yang mengambil langkah efisiensi agresif. CEO Andy Jassy menyatakan bahwa beberapa peran akan menjadi usang karena otomatisasi.
"Saat kami mengimplementasikan lebih banyak AI generatif dan agen digital, itu akan mengubah cara kerja kami," katanya dalam memo internal kepada karyawan.
Amazon sendiri baru saja mengumumkan rencana investasi besar-besaran senilai $100 miliar untuk pembangunan pusat data yang menjadi tulang punggung teknologi AI. Selain itu, mereka juga menggelontorkan miliaran dolar ke startup AI Anthropic, yang CEO-nya memperingatkan bahwa AI bisa “menghapus setengah dari seluruh pekerjaan white-collar level pemula.”
Tak hanya Amazon, para eksekutif papan atas Wall Street pun mulai menyuarakan kekhawatiran serupa. CEO Ford Motor, Jim Farley, menyatakan dengan tegas, bahwa AI akan menggantikan secara harfiah setengah dari seluruh pekerja white-collar di Amerika Serikat.
Perusahaan semikonduktor raksasa, Intel, juga mengumumkan akan memangkas 25.000 posisi kerja pada tahun 2025, menjadi putaran kedua dari PHK besar mereka dalam dua tahun terakhir.
Sementara itu, Microsoft mengonfirmasi akan memangkas sekitar 4 persen dari total tenaga kerja globalnya, atau setara 9.000 karyawan di berbagai divisi dan lokasi, demi mengalihkan lebih banyak sumber daya ke sektor AI.
Fenomena ini menandai perubahan signifikan dalam dinamika pasar kerja AS. Jika sebelumnya PHK massal banyak terjadi di sektor industri atau pabrik, kini justru menghantam segmen pekerja berpendidikan tinggi, seperti lulusan universitas baru.
Data menunjukkan bahwa pria berusia 22 hingga 27 tahun dengan gelar sarjana kini mengalami tingkat pengangguran lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Situasi ini menjadi peringatan keras bagi dunia kerja global.
Di tengah gempuran teknologi dan efisiensi berbasis AI, tak ada lagi sektor yang benar-benar aman. Adaptasi dan peningkatan keterampilan menjadi keharusan agar tenaga kerja tetap relevan dan tidak tersingkir dalam transformasi digital yang terus melaju cepat.