Industri Otomotif Masuk Zona Resesi, Picu Gelombang PHK

Industri otomotif nasional tengah menghadapi tantangan serius. Dalam dua kuartal terakhir, penjualan kendaraan roda empat atau lebih terus menunjukkan tren negatif, suatu sinyal yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perlambatan semata.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sepanjang kuartal I/2025 total penjualan mobil nasonal secara wholesales mengalami melambat 4,7 persen jadi 205.160 unit dari sebelumnya 215.250 unit year-on-year (yoy).
Kondisi tersebut melanjutkan tren penurunan yang terlihat sejak kuartal IV/2024, di mana wholesales minus 7 persen menjadi 232.063 unit sedangkan penjualan ritel anjlok 7,7 persen yoy.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan data itu secara jelas menggambarkan industri otomotif sedang mengalami perlambatan biasa. Apalagi, sektor ini menjadi salah satu indikator ekonomi Indonesia dengan porsi hampir 19 persen.
"Pasar kendaraan bermotor yang sedang turun memang indikator pra-resesi ekonomi, apalagi sampai mengalami kontraksi. Artinya, memang daya beli masyarakat sedang lesu dan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok dibandingkan cicilan kendaraan ataupun membelinya," katanya kepada Kompas.com, Senin (21/4/2025).
Dengan kondisi itu, dikhawatirkan akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar. Mengingat rantai pasok industri otomotif melibatkan lebih dari 1,5 juta tenaga kerja.
Sementara itu, Pengamat Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu berpendapat tekanan utama datang dari kombinasi faktor ekonomi makro berupa suku bunga kredit yang tinggi, kenaikan PPN 12 persen dan opsen pajak, serta pelemahan daya beli dari masyarakat.
"Lebih dari 80 persen pembelian kendaraan di Indonesia dilakukan melalui pembiayaan. Ketika bunga naik, pajak naik, konsumen menunda pembelian. Ini dampaknya langsung terasa," kata dia.
"Ditambah dengan proyeksi pertumbuhan yang cukup suram cenderung negatif, menunjukkan pasar otomotif kita tidak sekadar mengalami perlambatan temporer melainkan terjebak dalam fase kontraksi struktural," lanjut Yannes.
Efek Domino dalam Ekosistem Industri
Bhima menyampaikan, dengan kondisi yang tidak kunjung membaik dikhawatirkan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Mengingat rantai pasok industri otomotif melibatkan lebih dari 1,5 juta tenaga kerja.
"Kita tau, sektor otomotif ini selain menjadi indikator ekonomi juga terkait dengan lapangan pekerjaan. Porsi industri otomotif di manufaktur cukup besar, termasuk pada suku cadang kendaraan bermotor. Sehingga yang dikhawatirkan akan memacu gelombang PHK di sektor otomotif," ucap dia.
Selain itu, Agen Pemegang Merek (APM) yang memiliki basis produksi di dalam negeri juga akan menghadapi tekanan untuk mengevaluasi kembali strateginya.
"Bagi APM yang telah memiliki basis produksi di Indonesia, pasar yang melemah dan tidak mendukung dapat mendorong mereka untuk mengevaluasi ulang, menunda atau bahkan membatalkan rencana ekspansi yang mungkin sudah ada sebelumnya," kata Yannes.
"Sementara negara-negara pesaing di kawasan ASEAN seperti Thailand dan Vietnam terus berhasil menarik investasi baru. Maka, daya saing industri otomotif Indonesia dapat tergerus signifikan dalam jangka panjang," lanjut dia.
Di samping itu, produksi yang semakin rendah dari kapasitas terpasang di pabrik otomatis akan memukul pemasok komponen lokal (tier 1, tier 2, hingga tier 3), yang di antaranya adalah industri kecil-menengah (IKM) dan UMKM.
"Bagi diler juga ini akan berdampak berat karena penurunan volume penjualan akan semakin mengkis margin profit mereka, sementara biaya operasional kantor, sewa tempat, karyawan, dan sebagainya masih harus ditanggung," ucap Yannes lagi.
Pada gilirannya, penurunan performa sektor otomotif berarti juga menurunnya kontribusi terhadap pendapatan negara. Pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan (BBNKB), dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional akan ikut merosot.
Tanggapan Produsen dan Optimisme
Toyota Indonesia selaku produsen otomotif paling besar di Indonesia mengakui bahwa saat ini pasar sedang tidak baik-baik saja meskipun banyak pemain baru yang berdatangan.
"Memang di kuartal I/2025 market belum menunjukkan pertumbuhan positif. Tetapi, Toyota bersyukur masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif dengan posisi market share di angka 33,6 persen," kata Jap Ernando Demily, Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM).
"Bukan kapasitas kami untuk mengatakan bahwa pasar otomotif mulai mengalami resesi. Tapi kami setuju meski banyaknya brand baru yang masuk serta produk-produk baru, pasar belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan," lanjut dia.
Kondisi pasar otomotif yang masih menantang ini juga diamini oleh Honda Indonesia melalui Sales & Marketing and After Sales Director PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy. Ia yakin ini hanya proses penyesuaian pasar dan pasti bisa dilewati.
"Secara umum, kami melihat bahwa kondisi pasar otomotif di kuartal pertama 2025 memang mengalami tantangan, seiring dengan tekanan dari faktor eksternal maupun dinamika pada ekonomi domestik," kata dia.
"Data penurunan penjualan baik wholesales maupun retail mencerminkan adanya penyesuaian yang sedang berlangsung di pasar. Dalam kondisi ini, kami melihat pentingnya menjaga koordinasi yang erat antara pelaku industri, pemasok, dan jaringan dealer," lanjut Billy.
Honda sendiri, berkomitmen untuk mendukung ekosistem industri, termasuk mitra pemasok dan jaringan dealer. Di samping itu juga terus memperkuat daya saing melalui pembaruan produk, layanan purna jual, serta program penjualan yang relevan.
"Terkait anggapan bahwa industri otomotif masuk dalam fase resesi, kami melihatnya lebih sebagai proses penyesuaian pasar yang dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global, suku bunga, dan kebijakan domestik," kata Billy.
Terlepas dari itu semua, baik Toyota maupun Honda masih optimis bahwa iklim ekonomi akan kembali ke tren yang positif sehingga pada gilirannya meningkatkan kepercayaan konsumen di paruh kedua 2025.
Sementara itu, Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi juga optimis pasar otomotif nasional bisa mencapai target 900.000 unit pada tahun ini. Sebab akan ada banyak produsen yang memperkenalkan produk baru sebagai upaya merangsang daya beli.
"Industri sangat dipengaruhi berbagai aspek. Industri otomotif nasional memiliki kesempatan untuk terus berkembang selama tetap optimis, hati-hati, waspada dan rasional," katanya.
“Merek-merek kendaraan baru masih terus antre untuk masuk dan selama mereka memenuhi syarat, ketentuan, serta peraturan pemerintah. Kami memandang hal tersebut secara positif, untuk menjaga angka investasi, produksi. Termasuk mendorong aktivitas pasar domestik," ujar dia.
Jalan Keluar
Meski optimisme tetap dibutuhkan, jalan keluar tidak cukup dengan menunggu pasar pulih. Langkah nyata harus segera diambil, terutama untuk mendorong daya beli kelas menengah yang selama ini jadi motor penggerak ekonomi.
Bhima menilai, pemerintah bersama stakeholders terkait dan akademisi perlu duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Jangan sampai baru bergerak ketika keadaan semakin parah yaitu terjadinya gelombang PHK dan resesi ekonomi.
"Jadi, ini yang harus diantisipasi dan pemerintah harus bisa melihat indikator ini. Satu, tidak denial, tidak menyangkal bahwa ekonomi domestik sedang tertekan. Kemudian segera meberikan stimulus dan insentif apapun bentuknya," kata dia.
"Apakah dicarikan pasar baru, diberi keringanan pajak bagi karyawan sektor otomotif, menurunkan suku bunga acuan, dan lainnya agar penjualan kendaraan bermotor bisa terjaga lagi, bisa reborn," lanjut Bhima.
Senada dengannya, Yannes juga menyarankan agar pemerintah memberi insentif seperti pembelian kendaraan sebagai solusi jangka pendek untuk menyelamatkan ekosistem industri otomotif.
"Solusi ini memang bersifat temporer, lumayan untuk memanjangkan nafas seluruh ekosistem industri yang ada saat ini. Tetapi jelas ini tidak cukup untuk mengatasi akar masalah yang ada secara berkelanjutan," kata dia.
Sementara untuk solusi jangka panjang membutuhkan reformasi struktural di sisi fiskal, moneter, dan kebijakan industri. Sehingga dibutuhkan komunikasi berkelanjutan antara pemerintah, produsen, asosiasi, akademisi atau peneliti.
Hal ini lantas diamini TAM dan HPM, di mana mereka berharap adanya terobosan dari para stakeholder untuk kembali menggairahkan pasar otomotif melalui upaya-upaya strategis baik dalam jangka pendek maupun panjang.
"Mempertimbangkan kontribusi yang besar kepada ekonomi nasional serta sifatnya yang padat karya, kami sebagai bagian dari industri otomotif nasional berharap adanya breakthrough dari stakeholder untuk kembali menggairahkan pasar," ucap Ernando.
Situasi industri otomotif Indonesia saat ini tak bisa dipandang sebelah mata. Ini bukan hanya soal mobil tidak laku, tetapi tentang bagaimana guncangan pada satu sektor dapat meluas menjadi krisis ekonomi yang lebih besar.