Kendaraan Listrik Bisa Guncang Industri Otomotif Nasional

Transisi menuju kendaraan listrik di Indonesia tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa.
Jika tidak hati-hati, proses tersebut bisa mengancam keberlangsungan industri otomotif nasional, yang selama ini menopang ekspor dan menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, mengingatkan bahwa kebijakan elektrifikasi harus memiliki dampak jangka panjang.
Apakah insentif besar yang diberikan saat ini benar-benar mendorong pertumbuhan industri atau tidak.
Toyota bakal bangun pabrik perakitan baru di Meksiko
“Subsidi harga mobil listrik sudah sampai Rp 12 triliun. Kini dampaknya gimana? Bagaimana dengan subsidi infrastruktur? Mana yang lebih berdampak?” kata Bob saat ditemui di GIIAS 2025, ICE BSD, Tangerang, Selasa (29/7/2025).
Ia menekankan bahwa ekosistem kendaraan listrik harus menciptakan pasar dan mendorong industri, bukan sebaliknya.
Jika tidak, industri konvensional yang sudah mampu mengekspor hingga ke 99 negara bisa tergilas begitu saja.
Transisi energi juga membawa risiko terhadap lapangan kerja.
Struktur kendaraan listrik yang lebih sederhana berpotensi mengurangi kebutuhan teknisi dan komponen lokal.
“Yang penting, jangan sampai pengembangan teknologi baru malah mematikan industri yang sudah ada,” ujarnya singkat.
Diskusi Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) yang digelar di sela-sela pameran GIIAS 2025, ICE BSD, Tangerang, Selasa (29/7/2025).
Sebelumnya, Deputy CEO Toyota Motor Corporation untuk Asia, Hao Tien, dalam Gaikindo International Automotive Conference (GIAC), mengatakan bahwa Indonesia sebaiknya memilih jalur transisi secara bertahap.
Strategi multipathways dinilai lebih cocok.
Artinya, elektrifikasi tak hanya lewat Battery Electric Vehicle (BEV), tetapi juga melalui hybrid, PHEV, hingga hidrogen, tergantung kesiapan atas infrastruktur dan pasar.
Hao menyoroti pentingnya menghitung total emisi secara utuh, bukan hanya dari knalpot.
Sumber energi dan proses produksi juga menentukan dampaknya.
Ilustrasi Mobil Listrik
"Total emisi itu tergantung dari mana energinya berasal," ucapnya.
Ia mencontohkan Thailand, yang memadukan hybrid dengan bioetanol untuk hasil emisi yang bahkan lebih rendah dari BEV.
Sementara itu, Alin Halimatussadiah dari LPEM FEB UI menambahkan bahwa aspek sosial-ekonomi harus jadi perhatian utama.
Ia menyebut, transisi energi harus adil bagi semua pihak, termasuk pekerja dan konsumen.
Saat ini, kendaraan listrik di Indonesia masih banyak bergantung pada impor, terutama baterai.
Tingkat kandungan lokal BEV masih sekitar 40 persen, jauh dibanding ICE yang mencapai 85 persen.
Sementara itu, sistem pendidikan vokasi belum sepenuhnya siap.
Banyak lulusan SMK masih terlatih pada teknologi mesin konvensional, bukan elektrifikasi.
“Kalau pelaku industri ICE tak dilibatkan, risikonya jutaan pekerjaan bisa hilang,” ujarnya.
Pemerintah memang menargetkan kandungan lokal BEV bisa naik menjadi 60 persen pada 2027.
Namun, tanpa penguatan manufaktur baterai dan kurikulum vokasi, target itu belum tentu tercapai.
Di sisi lain, infrastruktur pengisian daya belum merata.
Konsentrasi fasilitas pengisian masih berada di kota besar, sedangkan kebutuhan mobilitas tersebar di seluruh wilayah.
Produksi kendaraan listrik pun belum menyamai kendaraan konvensional.
Saat ini, total produksinya baru sekitar 600.000 unit per tahun dibandingkan dengan ICE yang mencapai 1 juta unit.
"Dari segi ketenagakerjaan, industri EV baru mampu menyerap sekitar 500.000 pekerja, hanya sepertiga dari kapasitas tenaga kerja kendaraan konvensional," kata Alin.
Melihat kompleksitas ini, disarankan agar pemerintah melakukan kajian ulang mengenai pemberian subsidi untuk akselerasi transisi menuju era elektrifikasi.
"Masyarakat kita berbeda dari kondisi negara lain, yang mobilitasnya, jumlah kendaraannya (rasio kepemilikan) sudah mencukupi. Nah kita kan masih jauh dari cukup (baru 99 unit per 1.000 orang)," kata Bob.
"Sehingga ekosistem yang mestinya dibangun. As long as kendaraan listrik itu menciptakan pasar dan industri, oke saja. Jangan sebaliknya, malah mematikan industri yang ada," tutup dia.