Top 6+ Alasan Perusahaan Ogah Rekrut Gen Z Jadi Karyawan

Ilustrasi Gen Z kerja
Ilustrasi Gen Z kerja

 Di era modern ini, fenomena Generasi Z atau Gen Z mulai menjadi perhatian utama dunia kerja. Mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 dikenal sebagai digital natives, terbiasa dengan teknologi, dan memiliki pandangan hidup yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. 

Namun, di balik kemampuan mereka yang melek teknologi, banyak perusahaan di luar negeri menunjukkan kecenderungan enggan merekrut anggota Gen Z.

Fenomena ini tidak terjadi tanpa alasan. Para manajer dan eksekutif menemukan sejumlah tantangan dalam menghadapi karyawan Gen Z yang tidak hanya menyangkut kompetensi, tetapi juga perilaku dan ekspektasi terhadap dunia kerja. 

Menurut survei dan laporan dari beberapa media internasional, kecenderungan ini mulai memengaruhi strategi rekrutmen dan perencanaan sumber daya manusia. Berikut beberapa alasan mengapa perusahaan terkadang enggan merekrut karyawan Gen Z:

1. Kurangnya Soft Skill dan Profesionalisme

Walaupun Gen Z sangat mahir menggunakan teknologi, banyak yang masih kekurangan soft skills seperti komunikasi, kerja sama tim, dan adaptasi dengan budaya perusahaan. 

Melansir dari NY Post, sebuah survei menemukan bahwa sekitar 75% eksekutif menilai lulusan baru Gen Z belum siap menghadapi tantangan profesional, dengan 60% di antaranya berisiko diberhentikan karena masalah profesionalisme dan kesiapan kerja.

2. Tingkat Pergantian Kerja yang Tinggi

Gen Z dikenal sering berpindah pekerjaan dalam waktu relatif singkat. Fenomena ini, yang dikenal sebagai job hopping, menyebabkan perusahaan merasa investasi mereka pada pelatihan dan pengembangan karyawan kurang optimal. 

Di Australia, misalnya, banyak pekerja muda meninggalkan pekerjaan dalam waktu enam bulan, sehingga perusahaan menjadi lebih berhati-hati dalam merekrut.

3. Persepsi terhadap Generasi Gen Z

Beberapa pemimpin bisnis memandang Gen Z sebagai generasi yang mudah tersinggung dan kurang siap menghadapi tekanan kerja. Sebagian eksekutif menyebut Gen Z sebagai "snowflakes" yang memerlukan perlakuan khusus, sehingga perusahaan harus menyesuaikan budaya dan kebijakan mereka untuk menghadapi dinamika ini.

4. Keterbatasan Keterampilan Digital Profesional

Meski akrab dengan teknologi, Gen Z tidak selalu menguasai perangkat digital profesional yang digunakan di kantor, seperti software khusus atau mesin kantor. 

Fenomena ini disebut sebagai "tech shame", di mana karyawan muda merasa kurang percaya diri saat menggunakan teknologi profesional.

5. Perubahan Harapan terhadap Lingkungan Kerja

Gen Z menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, fleksibilitas, serta pekerjaan yang memiliki makna. Jika perusahaan tidak mampu memenuhi harapan ini, tingkat keterlibatan karyawan rendah dan turnover meningkat, sehingga perusahaan lebih selektif dalam perekrutan.

6. Fenomena Ghosting dalam Proses Rekrutmen

Beberapa perusahaan melaporkan Gen Z sering tidak melanjutkan proses rekrutmen tanpa pemberitahuan, fenomena yang dikenal sebagai ghosting. 

Hal ini membuat perusahaan merasa kurang dihargai, sehingga memengaruhi keputusan untuk merekrut generasi ini di masa depan.

Secara keseluruhan, meski Gen Z menghadirkan tantangan tersendiri bagi perusahaan, memahami karakteristik dan kebutuhan mereka merupakan langkah penting agar organisasi dapat menyesuaikan strategi manajemen talenta. 

Perusahaan yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan adaptif akan lebih mampu memanfaatkan potensi Gen Z, sekaligus menjaga keberlanjutan bisnis di era modern.