Tren Pengangguran Gen Z Mengkhawatirkan, Apa Penyebabnya?

Ilustrasi menganggur
Ilustrasi menganggur

Di era digital yang serba cepat, generasi Z sering dipandang sebagai kelompok yang adaptif, kreatif, dan melek teknologi. Namun, kenyataannya tidak sepenuhnya seindah itu. 

Laporan terbaru dari International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan anak muda, termasuk Gen Z, masih jauh lebih tinggi dibanding kelompok usia lain. 

Fenomena ini menjadi sorotan karena terjadi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia.

Menurut laporan Pew Research Center, Gen Z kini menghadapi persaingan kerja yang semakin ketat. Meskipun banyak perusahaan membutuhkan tenaga kerja muda dengan keterampilan digital, tidak sedikit dari generasi ini yang justru kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan mereka. 

Akibatnya, banyak lulusan baru yang akhirnya bekerja di sektor informal atau pekerjaan serabutan yang tidak sesuai dengan keahlian.

Tantangan Ekonomi dan Perubahan Pasar Kerja

Salah satu alasan utama tingginya pengangguran Gen Z adalah perlambatan ekonomi global. Inflasi, ketidakpastian geopolitik, hingga disrupsi teknologi membuat banyak perusahaan berhati-hati dalam melakukan perekrutan. 

Menurut data dari The Economist, perusahaan cenderung lebih memilih pekerja berpengalaman dibanding lulusan baru. Hal ini membuat posisi entry-level semakin sedikit, sehingga Gen Z harus bersaing lebih ketat.

Selain itu, World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa 40% perusahaan di dunia mulai mengurangi posisi kerja yang bersifat rutin karena otomatisasi. Pekerjaan yang sebelumnya bisa menjadi pintu masuk bagi fresh graduate kini digantikan oleh teknologi. 

Ironisnya, walaupun Gen Z dianggap generasi digital native, mereka belum sepenuhnya siap menghadapi realitas bahwa keterampilan teknis dasar saja tidak cukup. Perusahaan kini mencari talenta yang tidak hanya mahir teknologi, tetapi juga memiliki soft skills seperti komunikasi, manajemen waktu, dan kemampuan problem solving.

Kesenjangan Keterampilan

Faktor lain yang memperburuk situasi adalah adanya skill gap atau kesenjangan keterampilan. Sebuah survei dari LinkedIn Workplace Learning Report 2024 mengungkapkan bahwa banyak perusahaan menilai kandidat Gen Z kurang memiliki kesiapan kerja. 

Misalnya, meskipun mereka mahir menggunakan media sosial, tidak semua mampu mengaplikasikan keahlian tersebut dalam konteks profesional, seperti digital marketing atau analisis data.

Bahkan, laporan dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa 60% pekerja muda tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Hal ini membuat mereka sering terjebak dalam pekerjaan berpenghasilan rendah atau menganggur dalam waktu lama setelah lulus.

Dampak Psikologis dan Sosial

Tingginya pengangguran di kalangan Gen Z tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga psikologis. Menurut studi dari Harvard Business Review, banyak anak muda mengalami tekanan mental karena sulit mendapatkan pekerjaan yang stabil. 

Mereka merasa terjebak dalam siklus “lamar-ditolak” yang berulang, sehingga menimbulkan rasa frustrasi dan kehilangan motivasi.

Fenomena ini juga berpengaruh pada tren sosial. Gen Z yang tidak memiliki pekerjaan tetap cenderung menunda membeli rumah, menikah, atau berinvestasi untuk masa depan. 

Akibatnya, perekonomian dalam jangka panjang pun ikut terhambat karena konsumsi masyarakat menurun.

Pendidikan, Pelatihan, dan Adaptasi Jadi Solusi

Meski tantangan besar, peluang untuk memperbaiki kondisi ini tetap ada. Pemerintah dan perusahaan harus berkolaborasi dalam menyediakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri.

 Misalnya, kursus singkat berbasis teknologi, pelatihan kewirausahaan, hingga program magang yang memberikan pengalaman nyata.

Selain itu, Gen Z sendiri perlu lebih adaptif. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan ijazah, tetapi juga harus aktif mengembangkan portofolio, mengikuti kursus online, hingga membangun jejaring profesional. 

Banyak platform seperti Coursera, Udemy, hingga LinkedIn Learning menawarkan kursus yang bisa diakses dengan biaya terjangkau.

Tak sampai di situ, perusahaan juga perlu memberikan kesempatan yang lebih luas kepada anak muda. Memberikan posisi entry-level yang fair dan program mentoring bisa menjadi jalan keluar untuk mengurangi angka pengangguran di kalangan Gen Z.

Tren pengangguran Gen Z menjadi isu global yang tidak bisa diabaikan. Di satu sisi, generasi ini memiliki potensi besar dengan kreativitas dan keterampilan digital. 

Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi hambatan serius berupa keterbatasan lapangan kerja, skill gap, dan dampak otomatisasi. 

Dengan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan individu, tantangan ini masih bisa diatasi sehingga Gen Z tidak hanya menjadi “generasi melek teknologi”, tetapi juga generasi yang produktif dan mandiri secara ekonomi.