Asal Usul Kwitang, Kampung Legendaris di Senen yang Jadi Pusat Silat dan Dakwah Islam

Nama Kwitang sudah lama dikenal masyarakat Jakarta. Kawasan yang terletak di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, ini memiliki sejarah panjang, mulai dari cerita asal usul nama, kejayaan sebagai pusat buku bekas, hingga peranannya dalam perkembangan seni bela diri Betawi dan dakwah Islam.
Menurut catatan sejarah, nama Kwitang diduga berasal dari seorang perantau Tiongkok bernama Kwee Tang Kiam (ada pula sumber yang menyebut Kwik Tang Kiam) yang datang ke Batavia pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai pedagang obat sekaligus ahli bela diri kuntao—sejenis silat asal Tiongkok.
Berkat usaha dagangnya yang maju, Kwee menjadi kaya raya dan menguasai banyak tanah di kawasan itu. Masyarakat Betawi kemudian menyebut wilayah tersebut sebagai “kampung si Kwitang”.
Namun, versi lain menyebutkan, nama Kwitang berasal dari kata Guidang, yakni sebutan untuk Provinsi Guangdong dalam lafal Hokkian.
Kisah Kwee Tang Kiam juga terkait erat dengan seni bela diri. Ia mengajarkan jurus-jurus kuntao yang menekankan tenaga, kekuatan fisik, dan kecepatan. Perbedaan inilah yang membedakannya dari silat Betawi yang lebih menonjolkan unsur kebatinan. Akulturasi antara keduanya melahirkan tradisi silat khas Betawi Kwitang.
Kwitang, Gudangnya Jawara Pencak Silat
Nama Kwitang juga tercatat dalam novel Nyai Dasima (1896), di mana tokoh utama diceritakan dibunuh oleh seorang jago silat asal Kwitang. Sejak itu, kawasan ini makin dikenal sebagai gudangnya pendekar pencak silat.
Perguruan Silat Mustika Kwitang kemudian lahir pada 27 September 1948. Perguruan ini dianggap salah satu perguruan pencak silat tertua di Jakarta. Pendiriannya tak lepas dari sosok H. Muhammad Djaelani, atau Mad Djaelani, seorang pendekar Betawi yang disegani.
Silat Mustika Kwitang menggabungkan unsur pencak silat Betawi dengan kuntao Tiongkok, sehingga menghasilkan aliran yang tangguh dan populer. Bahkan, perguruan ini sempat melahirkan atlet-atlet berbakat yang tampil dalam Pekan Olahraga Nasional (PON).
Setelah Mad Djaelani wafat, perguruan ini diwariskan kepada cucunya, Zakaria Abdurachim, pada 1952. Di bawah kepemimpinannya, Mustika Kwitang berkembang pesat hingga memiliki puluhan ribu murid di Indonesia maupun mancanegara.
Dari Tanah Kwee ke Komunitas Arab Betawi
Makam Al Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsyi atau Habib Kwitang (kiri), berdampingan dengan putra bungsunya di Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu (17/3/2024).
Seiring berjalannya waktu, tanah milik Kwee Tang Kiam berkurang karena dijual oleh anaknya yang dikenal gemar berjudi. Sebagian besar tanah itu dibeli oleh masyarakat keturunan Arab yang kemudian banyak bermukim di Kwitang.Komunitas Arab Betawi inilah yang mendirikan Masjid Kwitang, yang diresmikan Presiden Soekarno pada 1963. Masjid ini kemudian berkembang pesat di bawah kepemimpinan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, yang lebih dikenal sebagai Habib Ali Kwitang.
Habib Ali Kwitang lahir di Jakarta pada 20 April 1870.
Sejak usia 11 tahun, ia menuntut ilmu agama di Hadramaut, Yaman, dan kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan Madinah. Ia pernah berguru kepada ulama besar, termasuk Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi, Mufti Mekkah saat itu.
Habib Ali tiga kali menunaikan ibadah haji, yakni pada 1894, 1925, dan 1936. Sepulangnya ke Tanah Air, ia aktif berdakwah dan mendirikan Majelis Taklim Kwitang yang hingga kini masih ramai diikuti ribuan jamaah setiap Minggu pagi.
Selain itu, pada 1940-an ia membangun Masjid Al-Riyadh di Kwitang beserta madrasah Unwanul Falah. Dari majelis dan madrasah inilah lahir banyak ulama Betawi, antara lain KH Abdullah Syafi’i (pendiri Majelis Taklim Assyafi’iyah) dan KH Thahir Rohili (pendiri Ath-Thahiriyah).
Habib Ali wafat di Jakarta pada 13 Oktober 1968. Makamnya di Kwitang hingga kini masih ramai diziarahi.
Kwitang juga pernah dikenal sebagai pusat penjualan buku bekas di Jakarta pada 1980-an hingga 2000-an. Banyak lapak berjejer di kawasan ini, menjual buku pelajaran hingga karya sastra, sehingga menarik minat pelajar dan mahasiswa.
Kini, meski tidak seramai dulu, nama Kwitang tetap abadi dalam sejarah Jakarta.
Kawasan ini dikenal bukan hanya sebagai tempat lahirnya Mustika Kwitang dan Habib Ali Kwitang, tetapi juga sebagai simbol akulturasi budaya Betawi, Tionghoa, dan Arab yang membentuk wajah Jakarta.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.