Asal Usul Nama Probolinggo dan Peran Pentingnya dalam Jalur Jawa-Bali

Probolinggo merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Timur yang terletak sekitar 100 kilometer di tenggara Kota Surabaya.
Kota ini berada di kawasan tapal kuda Jawa Timur dan menjadi bagian dari jalur utama pantai utara yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali.
Secara geografis, wilayah Probolinggo berbatasan langsung dengan Selat Madura di bagian utara.
Di sisi timur, kota ini berbatasan dengan Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo.
Sementara di bagian selatan, batas wilayah meliputi Kecamatan Leces, Wonomerto, Bantaran, dan Sumberasih, yang juga berada dalam lingkup Kabupaten Probolinggo.
Untuk bagian barat, Probolinggo berbatasan dengan Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo.

Letaknya yang strategis menjadikan Probolinggo sebagai daerah penting dalam sektor perekonomian dan transportasi di Jawa Timur.
Asal-Usul Nama Probolinggo
Untuk mengetahui asal-usul nama Probolinggo, tak lepas menelusuri sejarah yang terjadi di kota ini.
Sejarah mencatat bahwa Probolinggo dulunya dikenal dengan nama Banger, yang merujuk pada sungai yang mengalir di wilayah tersebut.
Pada masa pemerintahan Prabu Radjasanagara atau Sri Nata Hayam Wuruk, raja keempat Kerajaan Majapahit (1350–1389), Banger merupakan pedukuhan kecil di bawah pemerintahan Akuwu di Sukodono.
Nama ini bahkan tercantum dalam kitab Negarakertagama karya pujangga Majapahit, Prapanca.
Di bawah kekuasaan Majapahit, wilayah Banger berkembang menjadi sebuah Pakuwon.
Namun, situasi berubah saat Bre Wirabumi atau Minakjinggo, penguasa Blambangan, mengambil alih wilayah tersebut.
Peristiwa ini memicu perang saudara antara Bre Wirabumi dan Prabu Wikramawardhana yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Masuknya VOC dan Dinamika Pemerintahan Banger
Pada tahun 1743, wilayah di sebelah timur Pasuruan, termasuk Banger, dikuasai oleh VOC. Untuk mengelola wilayah tersebut, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Banger pertama pada tahun 1746 dengan gelar Tumenggung.
Namun, Kyai Djojolelono dikenal menentang politik adu domba yang diterapkan VOC.
Ia akhirnya melepaskan jabatannya pada tahun 1768 dan memilih menjalani kehidupan sebagai pengembara atau lelono.
VOC kemudian menunjuk Raden Tumenggung Djojonegoro sebagai penggantinya.
Konflik antara Kyai Djojolelono dan pemerintahan baru tetap berlanjut. Pada akhirnya, Kyai Djojolelono ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro.
Setelah wafat, ia dimakamkan di pasarean “Sentono,” yang hingga kini masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Pergantian Nama Menjadi Probolinggo
Di bawah kepemimpinan Tumenggung Djojonegoro, wilayah Banger mengalami kemajuan signifikan.
Perekonomian tumbuh pesat, jumlah penduduk meningkat, dan masyarakat memberikan julukan Kanjeng Djimat kepada Djojonegoro sebagai bentuk penghormatan atas kebijaksanaannya.
Sekitar tahun 1770, Tumenggung Djojonegoro mengganti nama Banger menjadi Probolinggo.
Nama ini berasal dari kata Probo yang berarti sinar, dan Linggo yang berarti tugu, tanda peringatan, tongkat, atau badan.
Secara keseluruhan, Probolinggo dapat dimaknai sebagai sinar yang berbentuk tugu, gada, atau tongkat.
Nama tersebut diyakini terinspirasi dari fenomena meteor atau bintang jatuh yang dianggap sebagai simbol cahaya dan kekuatan.
Sejak saat itulah, Probolinggo menjadi identitas resmi yang melekat pada kota ini hingga kini.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .