Keamanan: Komoditas Termahal Pariwisata

SEJAK 25 Agustus 2025, catatan Kementerian Dalam Negeri telah terjadi 107 aksi demo di 32 provinsi Indonesia.
Sebagian berujung rusuh, merusak fasilitas publik seperti halte, gedung DPRD, dan kantor polisi.
Kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah, serta menelan korban jiwa dan luka-luka di sejumlah wilayah. Hal ini dapat berdampak pada citra pariwisata nasional Indonesia.
Bukan hanya soal kerusuhan, beberapa tahun lalu, laporan-laporan media juga menyoroti gangguan pariwisata, seperti dugaan pelecehan terhadap turis di Bandung dan kasus kriminal lainnya di Bali.
peristiwa ini dengan cepat menjadi viral, memicu perdebatan serius tentang kesiapan Indonesia dalam menjamin keselamatan turis.
Masalah ini diperkuat oleh data Global Political Risk (GPR) yang mencatat lonjakan tajam sebesar 52,83 persen pada Mei 2025.
Kenaikan indeks ini diperkirakan dapat memicu penurunan kunjungan wisatawan mancanegara hingga sekitar 19,02 persen.
Sementara itu, pariwisata Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun citra sebagai destinasi unggulan.
Rasa aman hilang
Kasus-kasus ini membuktikan rapuhnya industri pariwisata di hadapan gangguan keamanan. Kajian akademis dalam Journal of Sustainable Tourism bahkan menyebut kejahatan non-kekerasan seperti penipuan dan pencopetan lebih efektif mengusir wisatawan daripada kejahatan kekerasan.
Wisatawan merasa dipermalukan dan dikhianati, sehingga pengalaman buruk cepat menyebar melalui ulasan daring.
Efek domino ini kian jelas di destinasi populer. Jakarta, Surabaya, dan Bali, misalnya, sering menjadi sorotan media internasional saat terjadi demonstrasi, kerusuhan, atau satu insiden kriminal.
Dalam wawancara dengan BBC Travel Risk, pakar keamanan internasional David Beirman menegaskan, “Pariwisata sangat rapuh, satu insiden kecil bisa menimbulkan efek domino besar karena wisatawan membeli rasa aman, bukan hanya pengalaman.”
Analisis ini menunjukkan, citra keamanan jauh lebih berharga daripada infrastruktur atau promosi.
Sebuah destinasi bisa punya bandara megah dan pemandangan luar biasa, tapi keraguan soal keselamatan akan membuat wisatawan beralih ke tempat lain.
Keraguan ini tidak selalu dipicu oleh serangan besar, melainkan pengalaman personal yang menyebar cepat di media sosial.
Wisatawan mandiri sangat mengandalkan ulasan real-time dari sesama pelancong. Cerita tentang tas yang dicopet atau penipuan tiket bisa menciptakan gelombang ketidakpercayaan yang lebih merusak dari iklan pariwisata mahal.
Hal ini menjadikan setiap warga dan interaksi sebagai bagian dari mata rantai keamanan yang tidak boleh putus.
Di sisi lain, konflik sosial juga muncul dari dalam sektor pariwisata itu sendiri. Penelitian Universitas Udayana menunjukkan fenomena “gentrifikasi pariwisata” di Bali: investor membangun hotel dan resor, sementara masyarakat lokal tersingkir.
Ketimpangan ini menciptakan potensi konflik yang merusak harmoni sosial. Model pariwisata neoliberal yang fokus pada pertumbuhan tanpa batas memperlebar jurang ini.
Perampasan lahan, eksploitasi tenaga kerja, dan kerusakan lingkungan berpotensi menimbulkan protes.
Begitu gesekan meledak, pariwisata jadi imbas pertama, membuat wisatawan menjauh dari lokasi yang dicap penuh konflik.
Isu ini diperparah masuknya investasi asing tanpa pengawasan ketat, yang sering kali tak peduli dampak sosial dan budaya.
Protes yang dulunya lokal dan senyap, kini terekspos secara global, menciptakan narasi negatif yang sulit dihapus.
Fondasi kokoh keadilan
Kabar baiknya, setiap krisis selalu membuka ruang untuk berbenah. Pandemi COVID-19 menunjukkan rapuhnya ekonomi Bali yang hanya bergantung pada turis.
Banyak akademisi menekankan diversifikasi ekonomi, seperti mengembangkan pertanian dan ekonomi kreatif, agar masyarakat tidak runtuh saat pariwisata terguncang.
Hal ini mengurangi ketergantungan total pada pariwisata, menciptakan lapangan kerja stabil, dan memberdayakan masyarakat lokal.
Dengan pondasi ekonomi yang lebih kokoh, masyarakat tak lagi merasa terancam atau tersisih oleh arus wisatawan, yang pada akhirnya mengurangi potensi konflik.
Selain itu, penguatan pariwisata berkelanjutan menjadi kunci. Wisata yang melibatkan masyarakat lokal, menghormati lingkungan, dan berbagi keuntungan adil akan mengurangi potensi konflik.
Contoh baik bisa dilihat di Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta, di mana masyarakat menjadi aktor utama dan merasa memiliki pariwisata.
Model ini memperkuat ketahanan sosial sekaligus menjaga keaslian budaya. Pendekatan ini memastikan pertumbuhan pariwisata memberi manfaat nyata bagi semua pihak, terutama warga lokal.
Ketika masyarakat merasa diuntungkan, mereka akan menjadi penjaga terbaik dari destinasi mereka sendiri.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah diplomasi publik. KTT G20 di Bali pada 2022, menjadi contoh bagaimana komunikasi strategis memulihkan citra.
Kehadiran pemimpin dunia memberi pesan bahwa Bali aman, ditambah kebijakan bebas karantina yang mempermudah kunjungan.
Laporan World Economic Forum Travel and Tourism Competitiveness Report menegaskan daya saing pariwisata global kini sangat dipengaruhi indeks keamanan.
Artinya, Indonesia harus memandang keamanan bukan isu domestik, melainkan bagian dari strategi daya saing global. Stabilitas politik dan sosial menjadi aset diplomasi yang tak kalah penting dari pesona alam.
Indonesia memiliki modal luar biasa untuk menjadi destinasi kelas dunia: alam indah, budaya kaya, dan keramahtamahan masyarakat.
Namun, aset tak ternilai ini tidak akan berfungsi maksimal jika masyarakat lokal tersingkir, konflik sosial dipelihara, dan keamanan diabaikan.
Tanpa fondasi yang kuat, pariwisata akan selalu menjadi bangunan rapuh yang mudah runtuh oleh kerusuhan sekecil apa pun.
Kerusuhan sosial adalah alarm nyata: saatnya membangun pariwisata yang berdiri di atas fondasi kokoh stabilitas sosial, keamanan, dan keadilan ekonomi.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.