Akademisi Desak Transparansi dengan Melibatkan TGPF dan Penyintas Mei 1998 dalam Penulisan Sejarah Nasional

Akademisi Desak Transparansi dengan Melibatkan TGPF dan Penyintas Mei 1998 dalam Penulisan Sejarah Nasional

Pentingnya transparansi dalam penulisan ulang sejarah nasional, khususnya terkait Tragedi Mei 1998 harus menjadi konsen pemerintah.

Hal itu disampaikan Akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Dr. Serian Wijatno menanggapi pernyataan yang menyebut insiden pemerkosaan dalam kerusuhan tersebut sebagai rumor belaka, Serian menyarankan pemerintah untuk melibatkan mantan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan para penyintas tragedi tersebut.

Menurut Serian, Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia, yang tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga meninggalkan trauma sosial mendalam.

Ia menekankan bahwa laporan TGPF yang dibentuk pada masa Presiden BJ Habibie secara jelas mencatat adanya kekerasan seksual terhadap perempuan selama kerusuhan.

"Sayangnya, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah poin transparansi seperti terlupakan, khususnya ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini," kata Serlan dalam keterangan tertulis, Senin (16/6).

Untuk memastikan penulisan sejarah yang benar-benar transparan, Serian menyarankan tim penyusun sejarah dan pemerintah untuk meminta masukan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam TGPF, seperti K.H. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, dan Dai Bachtiar.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya mendengarkan kesaksian para penyintas yang masih hidup, guna memperkaya perspektif dan melengkapi gambaran peristiwa.

Serian Wijatno menambahkan bahwa penulisan sejarah yang transparan sangat penting agar generasi muda dapat memahami peristiwa tersebut dengan benar.

Ia khawatir jika aspek transparansi diabaikan, justru akan menimbulkan kecurigaan, terutama karena peristiwa ini sudah menjadi sorotan dunia. Secara pribadi, Serian tidak ingin sejarah dijadikan alat kepentingan politik sesaat.

Baginya, kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena dianggap tidak nyaman, dan penulisan sejarah yang transparan adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membantu penyintas dalam proses penyembuhan.

"Itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka," katanya.