Arkeolog Kritik Penulisan Sejarah Indonesia yang Glorifikatif: Fokus pada Fakta, Bukan Narasi Politik

sejarah Indonesia, penulisan sejarah, Sejarah Indonesia, Penulisan Sejarah, sejarah indonesia, penulisan ulang sejarah indonesia, penulisan ulang sejarah, Arkeolog Kritik Penulisan Sejarah Indonesia yang Glorifikatif: Fokus pada Fakta, Bukan Narasi Politik, Kejanggalan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Objektivitas dalam Penulisan Sejarah: Menghindari Bias Politik, Penolakan Terhadap Penggantian Istilah “Prasejarah” Menjadi “Sejarah Awal”, Penulisan Sejarah yang Tidak Melibatkan Ahli di Bidangnya, Kecenderungan Penulisan Sejarah yang Glorifikatif, Pemerintah Fokus pada Identitas Nasional

Penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah dikerjakan oleh Kementerian Kebudayaan Indonesia (Kemenbud) menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan sejarawan.

Salah satu arkeolog terkemuka, Profesor Harry Truman Simanjuntak, yang awalnya terlibat dalam tim penulisan sejarah tersebut, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pendekatan yang diterapkan.

Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari tim tersebut karena beberapa kejanggalan yang ia temui selama proses penulisan.

Truman menyoroti bahwa penulisan sejarah yang terkesan Indonesia-sentris dapat mengabaikan objektivitas ilmiah.

Menurutnya, sejarah harus ditulis berdasarkan fakta dan bukti, bukan berdasarkan narasi politik yang bisa merubah atau mengabaikan kenyataan.

"Ilmu pengetahuan harus objektif, rasional, dan berbasis fakta. Kalau salah, katakanlah salah. Kalau benar, katakanlah benar," ujarnya dalam sebuah diskusi daring pada Rabu (18/6/2025).

Kejanggalan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Truman mengungkapkan ada lima kejanggalan yang membuatnya akhirnya memilih untuk keluar dari tim penulisan sejarah Indonesia.

Salah satu kejanggalan pertama yang ditemukan adalah target penyelesaian penulisan sejarah yang terkesan terburu-buru.

Proyek ini ditargetkan selesai pada Juni 2025, sementara rapat persiapan baru dimulai pada akhir November 2024.

Menurut Truman, proses penulisan sejarah seharusnya memerlukan waktu lebih panjang untuk mendapatkan hasil lebih mendalam dan objektif, seperti yang ia alami dalam penulisan Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), memakan waktu hingga 10 tahun.

Objektivitas dalam Penulisan Sejarah: Menghindari Bias Politik

Truman juga mengkritisi cara penyusunan konsep penulisan yang lebih didorong oleh pengaruh politik daripada diskusi ilmiah.

Ia menilai, seharusnya proses penyusunan buku sejarah ini didahului dengan seminar atau diskusi mendalam dengan para sejarawan.

Namun, yang terjadi justru hanya beberapa rapat terbatas yang tidak melibatkan diskusi dengan pakar sejarah.

"Janganlah menyusun konsepsi itu di bawah arahan penguasa. Harusnya ada seminar-seminar untuk mendengarkan masukan dari semua pihak yang berkepentingan," tegas Truman.

Penolakan Terhadap Penggantian Istilah “Prasejarah” Menjadi “Sejarah Awal”

Salah satu aspek yang menjadi sorotan Truman adalah penggantian istilah "prasejarah" menjadi "sejarah awal" dalam penulisan sejarah Indonesia.

Menurutnya, istilah "prasejarah" telah digunakan lebih dari 200 tahun secara internasional dan tidak perlu lagi diperdebatkan.

Truman menganggap perubahan ini tidak jelas dan hanya mengarah pada kepentingan tertentu.

"Sekarang di 2025, mereka menggantikan menjadi sejarah awal Nusantara. Pertanyaan besarnya, apa yang terjadi sebetulnya dalam proses penyusunan ini hingga mengubah terminologi itu?" ujar Truman.

Penulisan Sejarah yang Tidak Melibatkan Ahli di Bidangnya

Selain itu, Truman juga menemukan bahwa outline atau kerangka buku disusun tidak dibuat oleh sejarawan ahli, melainkan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut.

"Mestinya yang menyusun outline itu orang-orang yang ahli di bidang itu. Bukan ahli lain. Itu sebabnya ketika kita membaca outline buku yang sekarang sedang dikerjakan, ini sebuah kemunduran," jelas Truman.

Kecenderungan Penulisan Sejarah yang Glorifikatif

Truman mengingatkan bahwa penulisan sejarah tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik yang berusaha memperlihatkan Indonesia hanya dalam sisi positifnya saja.

Narasi yang terlalu glorifikatif ini berisiko mengabaikan fakta sejarah yang sebenarnya.

Sebagai ilmuwan, Truman menekankan bahwa sejarah harus berbicara tentang kebenaran, bukan hanya untuk membentuk citra yang sempurna dan tidak realistis.

Pemerintah Fokus pada Identitas Nasional

Kementerian Kebudayaan sendiri mengungkapkan bahwa tujuan dari penulisan ulang sejarah Indonesia ini adalah untuk menghapus bias kolonial dan memperkuat identitas nasional Indonesia.

Penulisan sejarah ini akan terdiri dari sepuluh jilid yang mencakup berbagai periode, mulai dari peradaban awal Nusantara hingga era Reformasi.

Namun, ketidaksetujuan yang muncul menunjukkan adanya kecemasan terkait narasi yang akan dibangun dan apakah penulisan ini akan tetap objektif atau justru dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Truman berharap agar penulisan sejarah Indonesia ini kembali berfokus pada fakta dan objektivitas, serta menghindari upaya untuk membentuk narasi yang terlalu idealis atau dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .