Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Berpotensi Bikin Anggaran Makin Bengkak

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah langsung berpotensi memicu tantangan baru.
Pada putusan ini, Pemilu Nasional akan terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI.
Sementara itu, Pemilu Daerah mencakup pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampouw menyebutkan, dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun akan menghabiskan biaya dua kali lipat.
Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas sebanyak dua kali.
“Ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi,” kata Jeirry kepada wartawan di Jakarta, Jumat (27/6).
Tak hanya itu, lanjut Jeirry, masyarakat bakal dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi.
Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik.
“Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya,” ungkap dia.
Dampak lainnya adalah potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar.
Dikarenakan waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung nyalon di pilkada atau sebaliknya. Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian.
“Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka,” ungkap Jeirry.
Jeirry menambahkan, tanpa kesiapan yang matang dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggaran putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru.
“Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan,” ungkap Jeirry.
Jadi, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi.
Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR.
“Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi,” tutup Jeirry. (knu)