Biaya Politik Tinggi Dinilai Sebabkan Ekonomi Rakyat yang Diusung Pemerintahan Prabowo Sulit Diimplementasikan

Ketua Dewan Pakar ASPRINDO, Didin S Damanhuri
Ketua Dewan Pakar ASPRINDO, Didin S Damanhuri

 Pakar Ekonomi Indef dan Ketua Dewan Pakar ASPRINDO, Didin S Damanhuri menyoroti di era setelah reformasi Indonesia telah terjadi sistem politik transaksional.

"Saya tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, tapi ini yang terjadi di daerah hingga ke pusat. Dan tak hanya sistem politik transaksional, tapi juga politik uang. Menurut penelitian, vote-buyer di Indonesia ini paling tinggi di dunia," kata Didin dalam acara Indef dan Insan Cita, dikutip Kamis 21 Agustus 2025.

Hal tersebut juga menjadikan political-cost menjadi sangat tinggi, yang menjadikan demokrasi politik masih sangat prosedural, tidak substansial. Dengan cirinya, berjalannya demokrasi ekonomi politik, supremasi hukum, kesejahteraan dan keadilan sosial yang diperintahkan oleh UUD sangat sulit tercapai.

"Karena itu, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen di era reformasi, yang lebih rendah jika dibandingkan sebelum reformasi yang bisa menyentuh 7,5 persen, hanya terakumulasi pada 5 persen kelompok yang super kaya. Hal ini terjadi karena telah terjadi oligarki bisnis yang kawin dangan oligarki politik. Ini menyebabkan platform ekonomi rakyat yang diusung oleh pemerintahan Presiden Prabowo menjadi maha sulit untuk diimplementasikan," ujarnya.

Didin menjelaskan, hal itu telah mempersulit anggaran untuk MBG, Kopdes, swasembada pangan dan energi yang harus menggeser anggaran pendidikan 44 persen dan menghentikan alokasi anggaran ke daerah yang menjadi kewajiban undang-undang.

Lalu ada juga pembelian pesawat generasi 5 dari Turki maupun Korea Selatan yang ujung-ujungnya untuk pembelian itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani harus menambah hutang, yang pernah disampaikan oleh beberapa media, utang luar negeri Pemerintah 2024 telah mencapai Rp10.350 triliun. Akibatnya kondisi fiskal negara, moneter maupun fiskal perbankan menjadi terbatas.

"Belum lagi ditambah dengan banyaknya kelompok vested interest yang menyabotnya, disamping ada soal inkompetensi," ujarnya.

Oleh karena itu, Guru Besar IPB ini mengusulkan adanya re-orientasi pembangunan sebagai solusi perspektif ekonomi politik. Yaitu, menggunakan pembangunan GDP oriented tapi sehat dan berkelanjutan. Sehingga, akan menghasilkan pelaku bisnis yang efisien dan inovatif, pelaku politik yang negarawan dan civil society yang produktif. 

"'Itulah yang sudah terjadi di negara-negara yang demokrasinya matang, seperti negara-negara Scandinavia atau Jepang. Itu bisa kita jadikan benchmark," kata Didin.

Ia menegaskan, jika ingin berfokus pada GDP oriented, maka harus diimbangi oleh with equity, agar pencapaian pertumbuhan ekonomi tidak dikuasai oleh oligarki ekonomi yang bekerja sama dengan oligarki politik.

"Kedua oligarki tersebut harus bertranfornasi jadi aktor demokrasi politik dan ekonomi sehingga 40 persen penduduk paling bawah akan disejahterakan. Mereka tidak akan termarginalisasi," katanya.