Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, Kemendagri Dalami Putusan MK dan Siapkan Skema Baru

Kementerian Dalam Negeri sedang mendalami putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jeda waktu penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah.
Kemendagri akan segera meminta masukan dari para pakar dan ahli untuk mendapatkan perspektif komprehensif mengenai dampak putusan ini dan juga akan membahas secara internal dampak putusan tersebut, termasuk skema pembiayaan pemilu baik di tingkat nasional maupun lokal.
“Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar, Sabtu (28/6).
Selain itu, Kemendagri akan mengkaji dampak putusan ini terhadap berbagai regulasi yang ada, khususnya Undang-Undang tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, dan UU tentang Pemerintahan Daerah.
Kemendagri juga akan berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu, serta menjalin komunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama kementerian dan lembaga terkait.
Bahtiar menjelaskan bahwa perubahan jadwal pemilu tentu akan memengaruhi banyak aspek, termasuk regulasi pelaksanaannya. Oleh karena itu, komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
Tak hanya itu, Kemendagri bersama kementerian/lembaga terkait akan menyusun skema penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal yang efektif agar tujuan pemisahan waktu pelaksanaan tercapai. Skema ini akan disusun dengan tetap mengedepankan efisiensi, termasuk dalam hal pembiayaan.
Sebelumnya, MK memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun.
Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sedangkan pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Putusan ini, dengan nomor 135/PUU-XXII/2024, mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Secara rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
MK memberikan makna baru pada pasal tersebut, yang kini mengatur bahwa pemungutan suara pemilu nasional dilaksanakan terlebih dahulu, dan setelahnya, dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR/DPD atau presiden/wakil presiden, barulah dilaksanakan pemungutan suara serentak untuk pemilu daerah.