Proses Sidang Pemisahan Pemilu Terkesan ‘Ditutupi’, Pengamat Curiga Ada Skenario Besar yang Dilakukan Elit Politik

Sistem Pemilu di Indonesia kembali berubah usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru. Putusan ini memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah.
Pemerhati Pemilu, Muhammad Lukman Ihsanuddin berpendapat bahwa keputusan ini menyisakan banyak tanda tanya di masyarakat. Salah satunya soal kurang transparannya proses persidangan.
“Publik berhak mengetahui urgensi keputusan ini, siapa saja yang terlibat, dan mengapa tidak ada partisipasi masyarakat sejak awal proses,” kata dia kepada wartawan dikutip Senin (30/6).
Lukman menuturkan, tanpa peringatan atau diskusi publik yang luas, MK menjatuhkan putusan yang mengubah fondasi penyelenggaraan pemilu.
“Mahkamah seharusnya menjadi benteng konstitusi, bukan ruang sunyi tempat agenda tersembunyi diproses tanpa suara rakyat,” jelas Lukman.
Selama proses judicial review berlangsung, Lukman menilai nyaris tidak terdengar riak perdebatan di ruang publik.
Padahal, keputusan ini menyentuh langsung pilar utama demokrasi yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Banyak pihak mempertanyakan mengapa tidak ada transparansi sejak awal dan bagaimana proses hukum ini bisa berlangsung dengan minim perhatian publik.
Demokrasi tidak boleh dikurangi secara diam-diam, meskipun dengan alasan perbaikan teknis.
“Dalam urusan kedaulatan rakyat, tidak boleh ada keputusan besar yang disembunyikan dari rakyat itu sendiri,” ujar Lukman.
Di tengah sorotan publik terhadap integritas lembaga hukum, transparansi dan akuntabilitas menjadi nilai penting yang tidak bisa dinegosiasikan.
“Legitimasi tidak cukup dibangun lewat bunyi palu, tapi juga lewat keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas,” tutur Lukman yang juga dosen IAIN Kudus ini.
Dengan pemisahan jadwal antara Pemilu nasional dan daerah, yang akan berlangsung dalam rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun, elite politik berpotensi menyusun ulang strategi kekuasaan mereka.
Dia memperkirakan hal ini dapat memperpanjang ruang manuver kekuasaan dan membuka potensi kooptasi politik lebih dalam.
Bahkan, perubahan ini justru berisiko memunculkan ketimpangan perhatian politik, meningkatnya biaya kampanye, serta memperpanjang kelelahan sosial dan finansial dalam proses demokrasi.
Seperti diketahui, dengan putusan ini, pemilu nasional (Presiden-Wapres, DPR, DPD) dan pemilu daerah (gubernur, bupati/wali kota, DPRD) tidak lagi dilaksanakan secara bersamaan dalam satu waktu. (Knu)