Mahkamah Konstitusi Dapat Sorotan Tajam Terkait Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Mahkamah Konstitusi, Komisi III DPR, putusan MK, Rudianto Lallo, Hasbiallah Ilyas, komisi III DPR, mahkamah konstitusi, Putusan MK, pemilu dipisah, mk pisah pemilu, Mahkamah Konstitusi Dapat Sorotan Tajam Terkait Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, Respons Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Wakil Ketua MK, Dilema Konstitusional, Kritik dari Akademisi

Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sasaran kritik tajam dalam rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) pada Rabu (9/7/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan.

Meskipun rapat tersebut beragenda utama pembahasan anggaran, para anggota dewan lebih banyak menyoroti putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029, yang dinilai kontroversial dan memicu kegaduhan publik.

Anggota Fraksi Partai Nasdem, Rudianto Lallo, menyebut MK saat ini tengah menjadi sorotan karena dinilai mengeluarkan putusan yang kontroversial dan bahkan dinilai menabrak konstitusi.

“MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” ujar Rudianto.

Ia menyoroti proses panjang legislasi di DPR yang melibatkan penyaringan aspirasi publik, namun hasil kerja itu bisa langsung dianulir oleh satu putusan MK.

“Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini deadlock jadinya,” ujarnya.

Senada, anggota Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas, menyindir kekuasaan sembilan hakim MK yang bisa mengubah arah sistem pemilu yang dirancang oleh 500 anggota legislatif.

“Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” ucap Hasbiallah.

Ia juga mengkritisi ketidakkonsistenan sistem pemilu yang berubah-ubah setiap periode. Menurutnya, hal ini justru menciptakan kebingungan dan keresahan di masyarakat.

“Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” tambahnya.

Hasbiallah pun mengusulkan agar proses seleksi hakim konstitusi diperketat agar MK tetap berjalan dalam koridor konstitusi.

“Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” tegasnya.

Dari Fraksi Demokrat, Andi Muzakir juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap inkonsistensi MK yang dinilai berdampak buruk pada sistem ketatanegaraan.

“Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” ujar Muzakir.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III, Dede Indra Permana Soediro dari Fraksi PDI-P, mengingatkan agar MK tidak melebihi kewenangannya sebagai penguji norma.

“Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” katanya.

Respons Mahkamah Konstitusi

Menanggapi kritik tersebut, Sekretaris Jenderal MK, Heru Setiawan, menegaskan bahwa MK hanya menjalankan kewenangannya melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang telah dibacakan dan tinggal menunggu tindak lanjut DPR.

“Putusan MK kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” ujar Heru.

Ia menolak memberikan komentar lebih jauh terkait kritik yang diarahkan ke MK maupun putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah.

Sebagai informasi, melalui putusan tersebut, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan mulai 2029.

Pemilu nasional akan digunakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan DPD. Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.

Penjelasan Wakil Ketua MK

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyatakan bahwa putusan ini lahir karena DPR dan pemerintah tidak kunjung merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meski Mahkamah telah menyampaikan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 sejak beberapa tahun lalu.

“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi dalam sidang di MK, Kamis (26/6/2025).

Namun, MK tidak memberikan tenggat waktu yang pasti terkait pelaksanaan pemilu daerah setelah pemilu nasional.

MK hanya mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan anggota legislatif nasional.

Dilema Konstitusional

Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Taufik Basari, menilai putusan MK tersebut menimbulkan dilema konstitusional. Ia mengatakan bahwa baik melaksanakan maupun tidak melaksanakan putusan itu sama-sama berisiko melanggar konstitusi.

“Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujar Taufik.

Ia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun, dan Pasal 18 Ayat (3) yang menyebut DPRD dipilih melalui pemilu.

“Inilah yang saya sebut sebagai dilematis constitutional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” tambahnya.

Kritik dari Akademisi

Peneliti Politik BRIN, Devi Darmawan, juga mengkritik langkah MK yang langsung menetapkan pemisahan pemilu. Ia menilai hal itu mencerminkan ketidakpercayaan MK terhadap kinerja DPR.

“Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” ujar Devi dalam diskusi daring.

Menurut Devi, DPR dan pemerintah lambat dalam melakukan revisi UU Pemilu, sehingga MK mengambil langkah tegas. Namun, ia mengingatkan agar MK tetap berada dalam koridor sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pembentuk norma hukum baru.

“Kalau seperti sekarang berkesan seolah-olah MK agak lebih mendominasi dalam pembuatan peraturan Undang-Undang, khususnya yang terkait dengan sistem kepemiluan,” pungkas Devi.