Mobil China Banyak Turun Harga, Ini Risiko Besarnya

Strategi potongan harga besar-besaran yang dilakukan oleh sejumlah pabrikan mobil asal China di Indonesia dinilai hanya memberikan dampak positif dalam jangka pendek.
Meski efektif menarik minat pasar, langkah ini disebut bisa merusak ekosistem industri otomotif secara keseluruhan jika tidak diimbangi strategi jangka panjang yang kuat.
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), potongan harga memang berhasil meningkatkan pangsa pasar dan memungkinkan merek-merek baru asal China masuk ke dalam pasar otomotif nasional yang sebelumnya didominasi merek Jepang dan Korea.
“China bahkan sempat memaksa salah satu brand Jepang ikut menurunkan harga jual mobil barunya. Tapi dalam jangka panjang, strategi ini bisa berdampak signifikan,” ujar Yannes kepada Kompas.com, Rabu (2/7/2025).
Ia menilai, diskon yang terlalu agresif justru berisiko mengikis citra merek. Konsumen dapat mulai mengaitkan produk tersebut dengan kualitas rendah, sehingga menyulitkan merek China menembus segmen premium.
“Perang harga yang terlalu intens akan menipiskan margin laba, menekan harga ke semua supplier, bahkan bisa mengganggu rantai pasokan suku cadang dari tier 3 hingga tier 2,” katanya.
Yannes menambahkan, banjir diskon juga memicu perilaku wait and see di kalangan konsumen, karena mereka khawatir harga akan terus turun.
Chery C5 pengganti Omoda 5
Hal ini juga bisa memperbesar praktik seperti penjualan mobil baru stok lama yang dikemas sebagai “mobil bekas 0 km”, yang justru merusak struktur pasar.
“Secara ilmiah, model strategi ini tidak berkelanjutan. Dalam jangka panjang bisa merusak nilai merek dan mengganggu stabilitas industri otomotif yang sudah mapan,” kata Yannes.
Catatan Kompas.com menunjukkan bahwa sejak beberapa bulan terakhir, setidaknya enam merek mobil China telah memangkas harga jual secara agresif. Beberapa model bahkan mengalami penurunan harga hingga puluhan atau ratusan juta rupiah.
Dengan tekanan seperti ini, Yannes menilai bahwa harga jual kembali atau resale value mobil China berpotensi terus tertekan, apalagi jika populasi kendaraan masih kecil dan belum didukung jaringan purnajual yang luas.