Kubu Hasto soal Tuntutan Jaksa: Ini Bukan Kejahatan Murni, tetapi Kriminalisasi Politik

Kubu Hasto soal Tuntutan Jaksa: Ini Bukan Kejahatan Murni, tetapi Kriminalisasi Politik

Kuasa hukum Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail, menilai tuntutan tujuh tahun penjara terhadap kliennya sebagai bentuk kriminalisasi politik.

Menurutnya, perkara ini tidak semestinya dikategorikan sebagai tindak pidana biasa, melainkan sebagai upaya politisasi hukum.

Hal itu disampaikan Maqdir usai sidang kasus dugaan suap pengurusan PAW anggota DPR 2019-2024 dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/7).

“Saya kira hal yang sangat perlu mendapat perhatian kita bahwa perkara ini bukan perkara kejahatan murni, tetapi ini adalah seperti berulang kali kami katakan, ini adalah perkara politik yang dikriminalkan. Ini adalah kriminalisasi politik agar supaya ini bisa dituntut dengan tuntutan yang tinggi, diciptakanlah pasal apa yang disebut dengan obstruction of justice,” ujar Maqdir.

Maqdir mempertanyakan alat bukti yang digunakan jaksa, khususnya soal data Call Detail Record (CDR) yang dinilai tidak logis dan mencederai akal sehat.

“Kalau mereka mau jujur, penuntut umum itu mereka juga harusnya mengakui bahwa kalau satu hal yang terkait dengan CDR yang mereka katakan, mereka tidak pernah mau ungkap bahwa perjalanan Harun Masiku dari Jakarta Barat sampai ke Tanah Abang hanya dalam waktu satu detik. Ini sesuatu yang betul-betul sangat mencederai akal sehat,” ungkapnya.

Ia juga menuding ada manipulasi terhadap bukti-bukti elektronik, termasuk soal keberadaan eks caleg PDIP Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian bersama Nur Hasan.

Menurut Maqdir, hal itu tidak mungkin terjadi mengingat waktu tempuh yang tidak masuk akal di Jakarta pada malam hari.

“Kalau kita lihat betul secara baik bagaimana perjalanan yang disebut sebagai perjalanan dari Harun Masiku bersama-sama dengan Nur Hasan dari Menteng dengan berputar-putar sampai kemudian mereka katakan berada di PTIK hanya dalam waktu sekitar 30–35 menit, dalam kondisi pukul sekitar pukul 20.17, atau sesudah 17-an, itu tidak mungkin di Jakarta ini kita bisa jalan,” bebernya.

Dalam kesempatan ini, Maqdir juga menegaskan bahwa pembuktian perkara ini tidak bisa didasarkan pada asumsi atau imajinasi semata. Apalagi saksi seperti Nur Hasan sudah membantah tuduhan keterlibatan.

“Pembuktian itu adalah berdasarkan keterangan saksi, bukan berdasarkan imajinasi atau asumsi,” tegasnya.

Selain itu, Maqdir menyoroti proses penetapan Hasto sebagai tersangka yang menurutnya bernuansa politis. Termasuk saat Hasto disebut sempat diminta mundur dari jabatan Sekjen PDIP dan tidak memecat Presiden ke-7 RI Joko Widodo.

“Mulai dari 13 Desember 2024 dia dihubungi orang meminta dia mundur dari jabatan sebagai sekjen. Kalau dia mundur, dia tidak akan dipidanakan. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, jangan memecat Jokowi. Kalau dua hal ini dilakukan oleh Hasto, maka dia tidak akan dipidanakan,” katanya.

Menurut Maqdir, kasus ini tak bisa dilepaskan dari dinamika internal partai dan kepentingan kekuasaan.

“Ini adalah upaya dari diskusi beberapa teman di PDIP, ini sebenarnya adalah upaya awal yang sudah tidak berhasil untuk mengambil alih partai ketika Presiden Jokowi meminta tambahan masa jabatan dan juga ketika dia tidak berhasil menambah satu periode,” tutupnya. (Pon)