Mengenal Aturan Berpakaian Serba Putih untuk Petenis di Wimbledon 

Dalam dunia tenis, fashion mungkin bersuara pelan, tapi gaungnya terasa kuat, terutama di Wimbledon. Ini adalah turnamen tenis paling ikonik sekaligus paling ketat soal urusan busana. 

Saat para petenis di tempat lain bebas berekspresi lewat warna-warna mencolok dan desain mencuri perhatian, Wimbledon tetap setia pada satu hal: putih. Dan bukan putih sembarang putih.

Di Wimbledon, aturan berpakaian bukan sekadar tradisi, tapi hampir seperti ritual sakral. Setiap pemain diwajibkan mengenakan pakaian serba putih dari ujung kepala hingga ujung kaki—termasuk aksesori seperti ikat kepala, celana dalam, hingga detail logo yang nyaris tak boleh terlihat. Semua diatur, semua diawasi. 

Hasilnya? Lapangan yang bersih secara visual dan atmosfer klasik yang tak tergantikan, menjadikan Wimbledon berbeda dari hiruk-pikuk mode di Grand Slam lainnya.

Mengapa ada aturan berpakaian putih di Wimbledon?

Wimbledon adalah turnamen tenis tertua di dunia dan dianggap paling bergengsi. Digelar setiap musim panas di London sejak 1877, Wimbledon adalah satu-satunya Grand Slam yang dimainkan di lapangan rumput. Ciri khasnya: tradisi kuat, seperti aturan pakaian serba putih dan kehadiran bangsawan Inggris.

Asal usul aturan serba putih dapat ditelusuri kembali ke era Victoria ketika tenis dianggap sebagai aktivitas rekreasi yang sopan. 

Pada saat itu, keringat yang terlihat dianggap "tidak pantas", sebuah pandangan yang sebagian besar berlaku untuk perempuan. Karena itu, pakaian putih dianggap lebih mampu menutupi keringat daripada warna yang lebih gelap. Akibatnya, pakaian tenis putih tidak hanya menjadi seragam tetapi juga pernyataan kesopanan, dan simbolisme tersebut bertahan lebih kuat di Wimbledon.

Carlos Alcaraz menjadi juara Wimbledon 2023 usai mengalahkan Novak Djokovic pada laga final di The All England Tennis Club, Wimbledon, Inggris, 16 Juli 2023. (Photo by Adrian DENNIS / AFP)

All England Club, tuan rumah Wimbledon, telah membekukan standar estetika ini ke dalam serangkaian peraturan yang jauh melampaui persyaratan di turnamen lain. 

Menurut pedoman klub saat ini, para pemain harus mengenakan pakaian "hampir seluruhnya putih", artinya bukan krem, bukan putih gading, dan bukan putih dominan dengan aksen, melainkan putih bersih. 

Aturan ini berlaku untuk kemeja, celana pendek, rok, gaun, pakaian dalam, topi, sepatu, dan bahkan aksesori yang terlihat seperti gelang dan kaus kaki.

Di antara sembilan aturan berpakaian yang terperinci terdapat batasan ketat pada warna: setiap lis, logo, atau detail tidak boleh lebih lebar dari satu sentimeter. 

Pada tahun 2014, klub bahkan memperbarui kebijakannya untuk secara eksplisit mewajibkan pakaian dalam putih setelah beberapa insiden bra dan celana dalam berwarna terlihat melalui kain tipis. Pada tahun yang sama, penyelenggara dilaporkan memeriksa lapisan dalam di ruang ganti sebelum pemain memasuki lapangan.

Apa yang terjadi jika melanggar aturan

Meskipun dress code mungkin tampak seperti aturan yang mudah dilanggar, dampaknya bisa sangat merugikan. Pemain yang tidak patuh terpaksa berganti pakaian di tengah turnamen atau bahkan di tengah pertandingan.

Meskipun kaku, Wimbledon terkadang memberikan pengecualian berdasarkan kasus per kasus. 

Pada tahun 2023, All England Club memperbarui kebijakannya untuk mengizinkan pemain wanita mengenakan celana dalam berwarna gelap jika mereka mau, sebagai bentuk apresiasi atas kekhawatiran seputar menstruasi dan kecemasan performa.

Lapangan tenis di Wimbledon, Inggris.

Apakah ada pemain yang melanggar aturan?

Umumnya, sebagian besar pemain telah mematuhi aturan sebaik mungkin. Tentu saja, ada beberapa kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Baru-baru ini, penyelenggara Wimbledon mengizinkan para pemain untuk melanggar aturan berpakaian yang telah berlaku selama berabad-abad untuk menghormati kematian penyerang Liverpool Diogo Jota, yang meninggal dunia secara tragis dalam sebuah kecelakaan mobil. 

Mengingat tragedi tersebut, para pemain diizinkan mengenakan ban lengan hitam sebagai penghormatan kepada Jota.

Andre Agassi terkenal karena memboikot Wimbledon selama bertahun-tahun karena aturan berpakaian serba putih, menyatakan bahwa ia lebih suka mengenakan perlengkapan tenis dengan warna-warna cerah. Namun, pada tahun 1991, ia memutuskan untuk bermain dengan pakaian serba putih dan membawa pulang gelar grand slam tahun berikutnya.

Pada tahun 2013, Roger Federer, juara Wimbledon delapan kali, menguji batasan aturan tersebut dengan mengenakan sepatu putih bersol oranye. Akibatnya, Wimbledon menindak tegas aturan warna sol sepatu tersebut pada tahun berikutnya.

Dan pada tahun 2017, Venus Williams memasuki lapangan dengan mengenakan bra merah muda untuk pertandingannya melawan Elise Mertens. Para petugas segera memintanya untuk mengganti pakaiannya.

Meski begitu, identitas visual Wimbledon bertumpu pada lautan pemain yang mengenakan pakaian serba putih. Keseragaman busana ini memberi nuansa seremoni dan kesinambungan pada setiap pertandingan. 

Inilah yang membedakan Wimbledon dari gemerlap gaya U.S. Open atau Australian Open, tempat para pemain kerap memamerkan kostum khusus dan pernyataan fashion yang berani.

Suka atau tidak, Wimbledon tetap bersikukuh mempertahankan aturan berpakaiannya, seketat dan sebersih pertandingan yang mereka suguhkan.