Teuku Markam, Saudagar Aceh Penyumbang 28 Kilogram Emas untuk Monas

Monumen Nasional atau Monas bukan hanya menjadi ikon Jakarta, tetapi juga simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Di balik kemegahan tugu setinggi 132 meter itu, tersimpan kisah kontribusi besar seorang pengusaha asal Aceh, Teuku Markam, yang rela menyumbangkan 28 kilogram emas murni untuk menghiasi puncak Monas.
Gagasan Bung Karno di Tengah Ekonomi Sulit
Gagasan pembangunan Monas muncul pada 1954, namun baru dicanangkan pada 1961 oleh Presiden Soekarno. Saat itu, Indonesia masih berjuang membangun diri sebagai negara baru dengan kondisi ekonomi yang belum stabil.
Proyek mercusuar ini dirancang arsitek Frederich Silaban yang sebelumnya juga merancang Masjid Istiqlal. Dalam prosesnya, Silaban dibantu oleh arsitek Soedarsono dan insinyur Rooseno.
Pembangunan Monas sempat terhenti pada 1966-1972 akibat situasi politik yang memanas menjelang berakhirnya era Orde Lama.
Proyek dilanjutkan pada masa Presiden Soeharto dan dibuka untuk umum pada 18 Maret 1972 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Meski dalam sejumlah sumber disebutkan Monas diresmikan pada 12 Juli 1975, catatan dokumen resmi tidak mencatat adanya acara peresmian.
Emas Murni dari Teuku Markam
Salah satu daya tarik Monas adalah nyala api di puncaknya yang dilapisi emas murni. Awalnya, lapisan emas tersebut berbobot 35 kilogram, dan kini bertambah menjadi 50 kilogram akibat pelapisan ulang.
Pada masa awal pembangunan, Teuku Markam menjadi tokoh penting yang berkontribusi besar.
Pengusaha kelahiran 1925 di Seuneudon, Aceh Utara, ini menyumbangkan 28 kilogram emas murni dari total 35 kilogram emas yang dibutuhkan untuk melapisi puncak Monas.
Selain sumbangan Markam, dana pembangunan Monas juga dihimpun dari “sumbangan wajib” pengusaha bioskop di seluruh Indonesia.
Misalnya, bioskop di Parepare, Sulawesi Selatan, menyumbang Rp 7.700,60; bioskop di Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85.
Bernama asli Teuku Marhaban, ia merupakan keturunan Uleebalang Aceh. Sebelum menjadi pengusaha, Markam pernah berdinas di militer, namun kemudian memilih keluar karena merasa tidak cocok.
Ia mendirikan PT Markam, perusahaan perdagangan yang berkembang pesat dan banyak terlibat dalam proyek infrastruktur di Aceh dan Jawa.
Kedekatannya dengan Presiden Soekarno membuatnya sering terlibat dalam proyek-proyek strategis negara.
Namun, nasibnya berubah drastis pada 1966 saat rezim Orde Baru berkuasa. Markam dipenjara tanpa proses pengadilan dan sebagian besar aset PT Markam diambil alih pemerintah. Perusahaan itu kemudian menjadi cikal bakal PT Berdikari (Persero), salah satu BUMN yang masih eksis hingga kini.
Meski menghadapi ujian berat di akhir hidupnya, kontribusi Teuku Markam tetap melekat dalam sejarah Indonesia. Emas murni sumbangannya masih menjadi bagian dari nyala obor Monas, simbol semangat perjuangan bangsa yang tak pernah padam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!