Sejarah Reservoir Siranda Semarang, Warisan Kolonial yang Aliri Kawasan Simpang Lima Semarang

Reservoir Siranda menjadi salah satu bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda yang hingga kini masih difungsikan untuk kebutuhan air bersih masyarakat Kota Semarang.
Bangunan yang berdiri sejak 1912 ini menyimpan cerita panjang tentang tata kota dan sejumlah peristiwa penting di masa lalu.
Salah satunya adalah Pertempuran Lima Hari di Semarang dan peristiwa tewasnya dr. Kariadi di Jalan Pandanaran setelah dibunuh tentara Jepang.
Sejarah Reservoir Siranda
Pemerhati sejarah Semarang, Tri Subekso, menjelaskan bahwa Reservoir Siranda dibangun pada awal abad ke-20 ketika pemerintah kolonial mulai menata infrastruktur perkotaan.
Selain bak penampungan air, di kawasan ini juga terdapat rumah jaga yang dibangun sejak 1923.
“Pada inskripsi bangunan tertulis 1912. Artinya, sejak masa itu Belanda sudah membangun sarana penampungan air untuk menunjang kebutuhan masyarakat, seiring dengan pembangunan perumahan di kawasan Candi, Sompok, hingga fasilitas publik lain,” jelasnya.
Tampung Air dari Gunung Ungaran untuk Kawasan Simpang Lima
Air yang ditampung di reservoir berasal dari aliran sumber di kawasan Mudal, Gunungpati, yang merupakan bagian dari kaki Gunung Ungaran.
“Reservoir Siranda menjadi wadah untuk menyalurkan air bersih, salah satunya ke kawasan Simpang Lima dan perumahan di sekitarnya. Termasuk perumahan untuk warga Eropa pada masa kolonial,” imbuh Tri.
Selain Siranda, pada masa itu juga dibangun beberapa reservoir lain di Semarang. Namun, Siranda menjadi salah satu yang masih bertahan dan tetap difungsikan hingga sekarang di bawah pengelolaan PDAM.
Dari kacamata sejarah, air dari Siranda dialirkan ke kawasan Simpang Lima Semarang menuju perumahan warga pribumi, Eropa, dan sebagainya di kawasan tersebut.
Merekam Jejak Pertempuran Lima Hari di Semarang
Reservoir ini juga lekat dengan peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang pada Oktober 1945.
Pertempuran tersebut terjadi antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang pada masa transisi dari kekuasaan Jepang ke pasukan Sekutu.
Saat itu beredar kabar bahwa Jepang berusaha meracuni Reservoir Siranda, sumber air minum yang menjadi kebutuhan utama warga Semarang.
dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (RS Purasara), tetap memutuskan mengecek sumber air tersebut meski sempat dilarang oleh istrinya, drg. Soenarti, karena khawatir.
Namun, dr. Kariadi justru ditemukan tewas di Jalan Pandanaran setelah dibunuh tentara Jepang. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB, tetapi nyawanya tidak tertolong.
Beliau gugur dalam usia 40 tahun, dan peristiwa itu menjadi pemicu meletusnya Pertempuran Lima Hari di Semarang.
“Banyak yang mengira beliau meninggal di Reservoir Siranda. Padahal, beliau gugur di perjalanan menuju reservoir,” ungkap Tri.
Jadi Bukti Sejarah Tata Kota Era Belanda di Semarang
Hingga kini, Reservoir Siranda masih berdiri dengan bangunan khas kolonial, lengkap dengan rumah jaga di dalam kompleksnya di bawah pengelolaan PDAM Tirta Moedal Kota Semarang.
Meski begitu, bangunan ini tidak lagi difungsikan sebagai pemasok air konsumsi utama, karena pasokan air untuk kawasan Simpang Lima kini berasal langsung dari IPA Gajah Mungkur.
Keberadaannya menjadi bukti sejarah penting dari warisan tata kota era Belanda yang hingga sekarang masih memberi manfaat bagi warga Semarang.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul “Mengenal Reservoir Siranda, Warisan Kolonial yang Berfungsi Hingga Saat Ini, Aliri Sekitar Simpang 5”.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!