Sejarah Minyak di Blora, dari Sumur Ledok 1893 hingga Blok Cepu

blok cepu, Blora, Cepu, sejarah Blora, cepu blora, minyak, asal usul Blora, minyak di blora, tambang minyak di blora, sejarah minyak di blora, sejarah pertambangan minyak bumi di blora, Sejarah Minyak di Blora, dari Sumur Ledok 1893 hingga Blok Cepu

Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tidak hanya dikenal sebagai daerah penghasil kayu jati, tetapi juga menyimpan sejarah panjang dalam industri minyak bumi Indonesia.

Sejak era kolonial Belanda pada akhir abad ke-19, Blora tercatat sebagai salah satu pusat pengeboran minyak mentah pertama di Jawa.

Catatan sejarah menunjukkan, sumur minyak Ledok-1 di Cepu mulai dibor pada tahun 1893 oleh perusahaan Belanda Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Sumur inilah yang menjadi tonggak awal produksi minyak komersial di Blora dan wilayah sekitarnya.

“Dokumen resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkuat catatan tersebut,” tulis laporan tahunan Verslag van de Mijnbouw in Nederlandsch-Indie (1894-1900) serta Koloniaal Verslag. Dalam laporan itu disebutkan adanya aktivitas eksplorasi minyak di Ledok dan Randublatung, Blora.

Selain itu, sebuah laporan teknis berjudul Geologische beschrijving van het petroleumgebied van Kedewan, Ledok en Randublatung (1907) yang kini tersimpan di perpustakaan Technische Hoogeschool Delft (TU Delft), Belanda, memberikan gambaran detail mengenai kondisi geologi ladang minyak Cepu-Ledok.

Jejak Sumur Minyak Tua di Blora

Hingga kini, sumur-sumur minyak tua peninggalan kolonial masih dapat dijumpai di kawasan Ledok, Semanggi, dan Trembes. Setelah era nasionalisasi pada 1960-an, pengelolaan lapangan minyak ini dilanjutkan oleh Pertamina Cepu.

Meski begitu, sebagian sumur tua masih dioperasikan secara tradisional dengan sistem bagi hasil bersama masyarakat setempat.

Keberadaan sumur minyak Blora ini semakin memperkuat identitas Cepu sebagai salah satu pusat sejarah perminyakan Indonesia.

Kini, kawasan tersebut dikenal dengan nama Blok Cepu, kontrak kerja sama eksplorasi minyak dan gas bumi yang mencakup Kabupaten Blora (Jawa Tengah) serta Bojonegoro dan Tuban (Jawa Timur).

Ladang minyak Cepu bahkan difungsikan sebagai wahana pendidikan migas melalui Akademi Migas Cepu, yang menjadi pusat pelatihan dan riset perminyakan di Indonesia.

Asal-usul Nama dan Sejarah Kabupaten Blora

blok cepu, Blora, Cepu, sejarah Blora, cepu blora, minyak, asal usul Blora, minyak di blora, tambang minyak di blora, sejarah minyak di blora, sejarah pertambangan minyak bumi di blora, Sejarah Minyak di Blora, dari Sumur Ledok 1893 hingga Blok Cepu

Tugu Pancasila Blora

Secara etimologi, nama Blora berasal dari dua kata, yakni Wai yang berarti air dan Lorah yang berarti jurang atau tanah rendah. Seiring waktu, pengucapan W berubah menjadi B dalam dialek Jawa, sehingga Wailorah berubah menjadi Bailorah, lalu menjadi Blora.

Makna tersebut juga sejalan dengan kisah rakyat yang menyebutkan Blora berasal dari kata Belor yang berarti lumpur.

Dengan demikian, Blora memiliki arti “tanah rendah yang berair atau berlumpur”.

Dalam catatan sejarah, Blora sudah eksis sejak masa Kerajaan Demak, ketika wilayah ini termasuk dalam Kadipaten Jipang yang dipimpin Arya Penangsang.

Setelah itu, Blora masuk ke dalam wilayah Kerajaan Pajang di bawah Sultan Hadiwijaya. Pada masa Mataram Islam, Blora menjadi bagian dari daerah Bang Wetan.

Ketika pemerintahan Pakubuwana I berkuasa, Blora diserahkan kepada puteranya, Pangeran Blitar, yang kemudian bergelar Adipati dan mengelola wilayah seluas 3.000 hektare.

Blora dalam bentuk administratif sekarang mulai terbentuk pada 1749, saat terjadi pemberontakan Pangeran Mangkubumi terhadap Mataram Islam.

Pemberontakan itu berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Dalam perjanjian tersebut, Blora masuk ke dalam wilayah Kasunanan Surakarta, dengan Tumenggung Wilatikta tercatat sebagai Bupati Blora pertama.

Julukan Blora, Kota Sate hingga Kota Kayu Jati

Kabupaten Blora memiliki sejumlah julukan khas, di antaranya Kota Sate, Kota Barongan, Kota Sampin, dan Kota Kayu Jati.

Julukan Kota Sate muncul karena daerah ini memiliki kuliner khas sate dengan bumbu berbeda dibanding daerah lain.

Sate Blora disajikan bersama nasi yang diberi kuah opor kuning serta taburan bawang goreng, dan biasanya disajikan di atas pincuk atau wadah daun jati.

Ada tradisi unik saat menyantap sate di warung, yakni pengunjung membeli sate secara eceran dan jumlah tusuk sate yang terkumpul menjadi bukti berapa banyak sate yang dimakan.

Selain itu, Blora juga dijuluki Kota Kayu Jati, karena hampir separuh wilayahnya berupa hutan jati. Kayu dan akar jati dimanfaatkan untuk berbagai kerajinan bernilai seni tinggi.

Salah satu sentra kerajinan akar jati berada di Desa Tempellemahbang, Kecamatan Jepon, dengan produksi rata-rata 80 produk per bulan per pengrajin.

Selain dikenal dengan sejarah migas, Kabupaten Blora juga menyimpan peninggalan purbakala.

Di wilayah Desa Kapuan, Kecamatan Cepu, para peneliti menemukan fosil hewan purba seperti paus dan banteng, menandakan kawasan ini pernah menjadi lingkungan purba penting.

Namun, identitas Blora tetap lekat sebagai kota minyak. Sejak masa kolonial Belanda, Cepu sudah menjadi kota strategis karena memiliki cadangan minyak bumi dan ribuan hektare hutan jati.

Hingga kini, ladang minyak Cepu atau Blok Cepu masih menjadi salah satu blok migas paling penting di Indonesia.

Sebagian Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul dan Tribun Jateng dengan judul "Sejak 1893 Blora Jadi Pusat Pengeboran Minyak Mentah, Kini Dikejutkan Tragedi Kebakaran Sumur" 

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!