Kenapa Anak Sering Membangkang? Ini Jawaban dan Solusi yang Tak Terduga
- Mengapa Anak Bisa Membangkang?
- Regulasi Emosi Orang Tua: Awal dari Segalanya
- Pendekatan Kolaboratif: Membangun Solusi Bersama Anak
- Memberi Pilihan Terbatas: Rasa Kendali untuk Anak
- Konsekuensi Logis, Bukan Hukuman Emosional
- Polanya: Otoritatif, Bukan Otoriter
- Membangun Koneksi Sebelum Koreksi
- Tips memperkuat koneksi:
- Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
- Prinsip-Prinsip Praktis yang Bisa Diterapkan

Sebagian besar orang tua pasti pernah mengalami momen saat anak mereka menunjukkan perilaku membangkang baik dengan menolak permintaan, melawan aturan, atau bahkan melontarkan kata-kata keras.
Walau menjengkelkan, perilaku ini sebenarnya umum terjadi sebagai bagian dari proses tumbuh kembang. Anak sedang belajar mengekspresikan kehendaknya, menguji batasan, dan mencari otonomi.
Artikel ini bertujuan membantu orang tua memahami alasan di balik pembangkangan anak dan menyajikan strategi efektif untuk menghadapinya dengan empati, bukan emosi.
Mengapa Anak Bisa Membangkang?
Perilaku membangkang bukan sekadar bentuk kenakalan. Menurut Dr. Ross Greene, seorang psikolog anak dan penggagas model Collaborative & Proactive Solutions, “Children do well when they can.”
Anak-anak sebenarnya ingin berperilaku baik, namun mereka belum tentu memiliki keterampilan untuk melakukannya, seperti fleksibilitas, toleransi terhadap frustrasi, atau kemampuan menyelesaikan masalah.
Pembangkangan bisa muncul karena:
- Keinginan anak untuk mandiri.
- Respons terhadap stres, kelelahan, atau rasa frustrasi.
- Kurangnya keterampilan komunikasi.
- Kurangnya koneksi atau perhatian dari orang tua.
Memahami bahwa anak membangkang karena mereka “tidak bisa” (bukan “tidak mau”) adalah kunci untuk mengubah pendekatan kita sebagai orang tua.
Regulasi Emosi Orang Tua: Awal dari Segalanya
Peran terbesar dalam mengubah perilaku anak justru terletak pada pengendalian diri orang tua. Dr. Laura Markham, psikolog klinis dan pendiri Aha! Parenting menyetakan bahwa kemampuan orang tua untuk mengendalikan emosi mungkin punya pengaruh paling besar terhadap seperti apa anak kita akan tumbuh, dibandingkan hal lain yang kita lakukan.
Artinya, sebelum bisa membimbing anak, orang tua harus bisa mengelola emosinya sendiri. Saat anak membangkang, respons orang tua yang marah, berteriak, atau menghukum cenderung memperburuk situasi. Sebaliknya, respons yang tenang, penuh empati, dan tegas memberi contoh pengelolaan emosi yang sehat.
Teknik seperti menarik napas dalam, memberi jeda sejenak sebelum merespons, atau mengenali emosi diri sendiri sangat membantu untuk tetap tenang saat menghadapi konflik.
Pendekatan Kolaboratif: Membangun Solusi Bersama Anak
Salah satu pendekatan yang terbukti efektif dalam menghadapi perilaku membangkang adalah Collaborative & Proactive Problem Solving (CPS), seperti yang dikembangkan oleh Dr. Ross Greene. Pendekatan ini melibatkan tiga langkah utama:
1. Empati dan mendengarkan
Pahami sudut pandang anak. Misalnya: “Kamu terlihat kesal karena tidak boleh bermain lebih lama. Ceritakan, apa yang kamu rasakan?”
2. Mendefinisikan masalah
Jelaskan kebutuhan orang tua secara jelas tanpa menyalahkan: “Ibu ingin kamu tidur cukup supaya besok tidak lelah ke sekolah.”
3. Mengajak anak mencari solusi
Libatkan anak untuk menemukan jalan tengah: “Kira-kira, bagaimana caranya kamu bisa main tapi tetap tidur tepat waktu?”
Pendekatan ini menghindarkan konflik “siapa yang menang,” dan mengubah momen konfrontasi menjadi pembelajaran keterampilan sosial dan emosional.
Memberi Pilihan Terbatas: Rasa Kendali untuk Anak
Anak-anak butuh rasa memiliki kendali atas hidup mereka. Salah satu cara mengurangi pembangkangan adalah dengan memberikan pilihan terbatas Misalnya:
- "Kamu mau gosok gigi sekarang atau lima menit lagi?"
- “Kamu mau pakai baju merah atau biru hari ini?”
Menurut Dr. Alan Kazdin dari Yale Parenting Center, memberi pilihan terbatas membuat anak merasa dihargai dan lebih cenderung bekerja sama. Hal yang penting adalah semua pilihan tetap dalam batas yang bisa diterima orang tua.
Konsekuensi Logis, Bukan Hukuman Emosional
Hukuman fisik atau emosional seperti teriakan, ancaman, atau time-out isolatif justru memperburuk hubungan anak dan orang tua. Dr. Laura Markham mengingatkan bahwa hukuman seringkali hanya menghentikan perilaku sesaat, tanpa mengajarkan anak cara bertindak lebih baik.
Sebagai gantinya, gunakan konsekuensi logis
- Jika anak menumpahkan mainan, konsekuensinya adalah harus merapikannya kembali.
- Jika lupa membawa bekal, biarkan ia merasakan dampaknya.
Konsekuensi seperti ini membantu anak belajar tanggung jawab dan sebab-akibat tanpa rasa malu atau takut.
Polanya: Otoritatif, Bukan Otoriter
Pola asuh yang paling efektif menghadapi anak membangkang adalah pola otoritatif yang tegas tapi penuh empati. Berbeda dengan otoriter (keras dan kaku) atau permisif (terlalu lembek), pola otoritatif menetapkan aturan dengan kasih sayang.
Dr. Laura Markham menyatakan bahwa pola ini mendukung anak mengembangkan disiplin diri, empati, dan kepercayaan pada orang tua.
Membangun Koneksi Sebelum Koreksi
Salah satu prinsip penting dalam pendekatan parenting modern adalah koneksi sebelum koreksi. Saat anak merasa terhubung secara emosional dengan orang tua, mereka lebih mudah diarahkan dan dibimbing.
Tips memperkuat koneksi:
- Luangkan waktu khusus (quality time) setiap hari.
- Dengarkan tanpa menghakimi saat anak bercerita.
- Peluk dan beri sentuhan fisik penuh kasih.
- Akui perasaan anak, bahkan saat tidak setuju dengan tindakannya.
Anak yang merasa dicintai dan dimengerti lebih kecil kemungkinannya membangkang secara ekstrem.
Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
Jika pembangkangan anak bersifat ekstrem, sering disertai ledakan emosi, atau berlangsung terus-menerus hingga mengganggu kehidupan sehari-hari, mungkin diperlukan bantuan profesional.
Program seperti Parent Management Training (PMT)terbukti efektif membantu orang tua mengembangkan strategi disiplin yang konsisten, positif, dan berbasis sains.
Prinsip-Prinsip Praktis yang Bisa Diterapkan
- Tenangkan diri sebelum merespons anak.
- Gunakan bahasa empatik dan pilihan terbatas.
- Cari solusi bersama daripada memaksakan kehendak.
- Gunakan konsekuensi logis, bukan hukuman.
- Bangun koneksi secara rutin dan tulus.
- Konsisten tapi fleksibel sesuai konteks dan usia anak.