Peringatan Bos Microsoft soal PHK, AI Bisa Ubah Pekerjaan dengan Cepat tapi Banyak Orang Belum Siap

Perkembangan kecerdasan buatan atau AI kini semakin cepat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, terutama di dunia kerja.
Banyak pihak berspekulasi bahwa AI bisa menyebabkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja, namun pandangan para pemimpin teknologi justru menyoroti isu yang lebih kompleks.
CEO Microsoft AI Mustafa Suleyman menekankan bahwa kekhawatirannya bukan pada PHK massal, melainkan pada kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan yang dibawa AI.
Dalam wawancara terbaru, Suleyman menyampaikan bahwa kecepatan transformasi yang dihasilkan AI sering kali melebihi kemampuan masyarakat untuk mengikutinya.
“Kekhawatiran utama saya adalah banyak orang tidak akan dapat beradaptasi cukup cepat dengan perubahan yang dibawa oleh AI,” ujar Suleyman, seperti dikutip dari Times of India, Selasa, 26 Agustus 2025.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa para pemimpin teknologi semakin khawatir bukan soal mesin menggantikan manusia, melainkan soal bagaimana masyarakat bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang begitu cepat.
Kesenjangan keterampilan, bukan kehilangan pekerjaan

CEO Microsoft AI Mustafa Suleyman
Menurut Suleyman, yang memimpin produk AI konsumen Microsoft termasuk Copilot, gangguan yang ditimbulkan AI mungkin tidak akan menghilangkan pekerjaan, tetapi akan mengubahnya dengan sangat cepat sehingga pekerja kesulitan untuk mendapatkan pelatihan ulang.
Mulai dari layanan pelanggan hingga coding, AI sudah mulai mengubah sifat pekerjaan. Ia menambahkan bahwa mereka yang tidak memiliki akses ke pendidikan atau pelatihan kemungkinan akan tertinggal.
Solusi proaktif diperlukan
Selain memberi peringatan, Mustafa Suleyman menekankan perlunya tindakan pencegahan.
Pemerintah, perusahaan, dan pendidik harus bekerja sama untuk memastikan program pelatihan ulang, literasi digital, dan akses inklusif ke alat AI menjadi prioritas.
Tujuannya adalah memberdayakan masyarakat untuk berkembang di ekonomi yang dipenuhi AI, bukan sekadar bertahan hidup.
Selain itu, Mustafa juga menyoroti fenomena psikologis yang berkembang, yang disebutnya ‘Psikosis AI’.
Bagi yang belum familiar, kondisi ini terjadi ketika individu mulai kehilangan keterhubungan dengan kehidupan nyata akibat interaksi berlebihan dengan sistem AI.
Seperti dilaporkan Business Insider, Suleyman menjelaskan Psikosis AI sebagai “risiko nyata dan yang sedang berkembang” yang dapat dengan mudah memengaruhi individu rentan yang terlalu terbenam dalam percakapan dengan agen AI.
Kondisi ini terutama akan memengaruhi mereka yang garis antara manusia dan mesin menjadi kabur. Menurut Business Insider, Suleyman juga meminta industri teknologi untuk menanggapi risiko ini dengan serius dan membantu menerapkan beberapa pedoman etis, yang mencakup:
- Penjelasan jelas tentang keterbatasan AI
- Pemantauan tanda-tanda pola penggunaan yang tidak sehat
- Kolaborasi dengan profesional kesehatan mental untuk mempelajari dan mengurangi risiko
Dengan meningkatnya interaksi manusia dengan AI, memahami dampak sosial, psikologis, dan profesional menjadi sangat penting.
Mengantisipasi perubahan dan menyiapkan strategi pelatihan ulang adalah langkah kunci agar masyarakat tetap relevan di era AI.