Diam-Diam Tersiksa, Kenapa Banyak Orang Benci Kerjaannya Tapi Tetap Bertahan?

Pernahkah kamu merasa hanya sekadar “login” ke kantor atau rapat Zoom, tapi tanpa semangat, tanpa ide, dan tanpa rasa bangga? Kamu hadir secara fisik, tapi batinmu sudah pergi.
Fenomena ini kerap disebut silent resignation atau internal resignation, sebuah keadaan di mana seseorang tetap bekerja, tetapi sudah kehilangan keterikatan emosional dan makna terhadap pekerjaannya.
Fenomena ini ternyata sangat luas. Menurut survei Gallup, setidaknya lebih dari separuh tenaga kerja di Amerika Serikat masuk kategori “quiet quitters”, yaitu orang yang hanya bekerja sebatas minimum tanpa benar-benar terlibat.
Apa Itu Silent Resignation?
Silent resignation bukan berarti mengajukan surat resign, melainkan berhenti secara batin. Istilah ini berakar dari konsep inner resignation (innere Kündigung) dalam literatur manajemen Jerman, yang menggambarkan pekerja yang masih datang setiap hari tapi sudah tidak lagi memberikan hati, ide, atau energi ekstra.
Fenomena ini semakin mencuat sejak pandemi, ketika banyak pekerja mengalami kelelahan, stres, dan mempertanyakan makna pekerjaannya. Tren global menunjukkan keterlibatan karyawan tidak meningkat, tetapi justru tingkat stres melonjak tajam.
Burnout: Akar dari Resign Batin
Untuk memahami kenapa orang bisa bertahan tapi tersiksa, kita bisa belajar dari Prof. Christina Maslach, psikolog dari University of California, Berkeley, yang dikenal sebagai pelopor riset burnout.
Menurut Maslach, burnout adalah respons berkepanjangan terhadap stres emosional dan interpersonal yang kronis di tempat kerja. Ia menjelaskan bahwa burnout punya tiga dimensi utama: kelelahan, sinisme, dan rasa tidak efektif.
“Burnout adalah respons berkepanjangan terhadap stresor emosional dan interpersonal di tempat kerja,” tulis Maslach dalam artikelnya tahun 2001 di Annual Review of Psychology.
Jika dipahami lebih sederhana saat stres kerja terus menumpuk tanpa solusi, orang mulai lelah, menjadi sinis terhadap pekerjaannya, dan merasa tidak lagi mampu. Dari sinilah lahir kondisi silent resignation.
Kenapa Tetap Bertahan Meski Tersiksa?
Kalau sudah muak, kenapa tidak pergi saja? Ternyata, ada banyak alasan mengapa orang memilih bertahan:
- Keamanan finansial
Banyak orang terjebak fenomena job lock: ketergantungan pada gaji atau benefit (seperti asuransi kesehatan di beberapa negara) membuat mereka sulit berpindah. - Ketidakpastian kerja
Penelitian terbaru menunjukkan jutaan pekerja terjebak dalam pekerjaan tidak aman bertahun-tahun, dengan peluang sangat kecil untuk pindah ke pekerjaan yang lebih baik. - Tekanan sosial dan budaya
Di Indonesia, bekerja sering dikaitkan dengan gengsi, tanggung jawab keluarga, hingga takut dicap “tidak bersyukur.” - Kelelahan mengambil keputusan
Ironisnya, ketika energi mental sudah habis, orang cenderung memilih bertahan karena perubahan dianggap terlalu melelahkan.
Gejala Silent Resignation
Beberapa tanda umum yang bisa dikenali:
- Emosional: apatis, mudah sinis, atau merasa mati rasa.
- Kognitif: sering menunda pekerjaan, kreativitas menurun, bekerja hanya sebatas formalitas.
- Perilaku: hadir secara fisik (presenteeism) tapi sebenarnya memutus keterlibatan.
Semua gejala ini sejalan dengan kerangka Maslach yakni kelelahan–sinisme–ketidakefektifan.
Jalan Keluar: Apa yang Bisa Dilakukan Individu?
Tidak semua solusi berarti harus langsung resign. Beberapa langkah yang bisa diambil:
- Audit stres pribadi
Gunakan kerangka Maslach & Leiter: periksa area mismatch (beban kerja, kontrol, penghargaan, nilai, komunitas, keadilan). - Job crafting
Atur ulang porsi pekerjaan yang lebih bermakna, minta umpan balik yang jelas, dan ciptakan ruang kecil untuk merasa berdaya. - Bangun “kontrak psikologis” baru
Bicarakan dengan atasan tentang ritme kerja, prioritas, atau target yang realistis. - Siapkan jalan aman
Mulailah menabung 3–6 bulan pengeluaran, bangun skill tambahan, atau proyek sampingan agar tidak terjebak job lock.