Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini?

Tren YONO, Gaya hidup YONO, dampak gaya hidup YONO, gaya hidup YONO, gaya hidup yolo adalah, apa itu gaya hidup yono, fenomena gaya hidup yono, tren yono, Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini?

Beberapa tahun lalu, dunia sempat diramaikan dengan semangat YOLO atau You Only Live Once, sebuah filosofi hidup yang mendorong orang untuk menikmati hidup sepenuhnya, termasuk membeli barang mewah dan bepergian tanpa pikir panjang.

Namun, tren itu saat ini mulai bergeser. Kini muncul konsep baru, YONO atau You Only Need One. Gaya hidup ini mendorong kita untuk lebih bijak dalam berbelanja dan fokus pada apa yang benar-benar dibutuhkan.

Apa Itu YONO?

Tren YONO muncul sebagai respons terhadap berbagai perubahan pasca pandemi. Setelah masa-masa sulit dan penuh ketidakpastian, banyak orang sempat mengalami fase “balas dendam” atas waktu yang hilang, dengan mengeluarkan uang untuk hal-hal yang bersifat mewah -- seperti liburan, alat olahraga mahal, hingga renovasi rumah.

Namun situasi berubah. Inflasi yang tak kunjung turun, kondisi keuangan yang makin ketat, serta kepastian kerja yang belum stabi,l membuat banyak orang berpikir ulang soal pengeluaran.

Melansir CNN Business, Sameer Samana, ahli strategi pasar dari Wells Fargo Investment Institute mengatakan, pergeseran ini tak terhindarkan.

Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!
Kompas.id
Tren YONO, Gaya hidup YONO, dampak gaya hidup YONO, gaya hidup YONO, gaya hidup yolo adalah, apa itu gaya hidup yono, fenomena gaya hidup yono, tren yono, Fenomena Gaya Hidup YONO, Apa Dampaknya jika Banyak Orang Ikut Tren Ini?

Saat orang kembali bekerja dari kantor dan kehilangan fleksibilitas kerja jarak jauh, mereka mulai menyesuaikan hidup pada pola yang lebih terstruktur dan realistis.

Kesadaran Baru soal Konsumsi

Gaya hidup YONO bukan sekadar tren penghematan, tapi bentuk refleksi diri. Ini adalah tentang memilih barang atau pengalaman yang benar-benar dibutuhkan dan bernilai jangka panjang, dibanding sekadar mengikuti tren sesaat.

Tren ini juga sejalan dengan gerakan yang sedang ramai dibicarakan di media sosial, yaitu No Buy Challenge 2025, ajakan sederhana untuk mengurangi konsumsi barang non-esensial sepanjang tahun untuk hidup lebih hemat dan sadar.

Menurut Cynthia Suci Lestari, pendiri komunitas minimalis Lyfe with Less, salah satu cara mengontrol keinginan belanja impulsif adalah dengan lebih memilih barang yang timeless dan fungsional, bukan sekadar ikut tren. Karena begitu tren berlalu, rasa suka terhadap barang itu pun ikut memudar.

Dampak YONO bagi Kehidupan

Menurut Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani, YONO dapat membawa dampak positif maupun negatif.

Dari sisi positif, budaya konsumtif cenderung menurun. Orang jadi lebih hemat dan tidak mudah tergoda belanja impulsif, yang pada akhirnya bisa mengurangi stres keuangan dan meningkatkan kesejahteraan mental.

“Alih-alih mengejar gengsi dan pamer harta, orang jadi lebih menghargai solidaritas sosial dan hubungan antarmanusia,” kata Endang beberapa waktu lalu.

Dampak sosial seperti kecemburuan akibat kesenjangan gaya hidup juga bisa berkurang. Masyarakat akan lebih fokus pada kebersamaan daripada kepemilikan barang.

Namun, jika tren ini diadopsi secara luas, efek domino pada perekonomian pun mungkin terjadi. Produsen bisa menurunkan produksi, perputaran uang melambat, dan pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Meski begitu, dampak baik lainnya, produksi dan konsumsi yang lebih rendah berarti kerusakan pada lingkungan juga berkurang. Polusi dan limbah akan berkurang, sehingga memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup.

“Dampak positif dan negatif pasti ada, tergantung bagaimana kita memanajemennya. Bagaimana kita bisa mengubah dampak negatif menjadi positif,” tutupnya.