Sederet Tantangan Membangun Generasi Emas 2045

Di penghujung bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 80, sejumlah catatan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dan pemangku jabatan.
anak Indonesia masih menjadi sasaran penyakit menular yang semestinya bisa dicegah dengan imunisasi, sanitasi, dan perbaikan gizi yang secara komprehensif menjadi program di setiap puskesmas dan posyandu sebagai ujung tombak saluran edukasi.
Selain itu juga skrining sekaligus layanan imunisasi serta pemberian makanan tambahan, Vitamin A, dan obat cacing dua kali setahun.
Kedua, Makan Bergizi Gratis masih menyisakan sejumlah masalah dan keluhan yang mestinya bisa menjadi upaya pencegahan spesifik penurunan angka stunting dan malnutrisi.
Sayangnya, upaya promosi dan edukasi yang sudah gencar dijalankan oleh berbagai pihak juga menuai perlawanan yang tak kalah gencarnya dari mereka yang mempunyai sudut pandang berbeda tentang imunisasi.
Tiga kategori yang kerap ditemui: orangtua yang anaknya mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berat dan komunitas penganut wawasan “terrain model”.
Serta yang paling menarik: kelompok masyarakat yang tidak bisa membedakan imunisasi balita dan masalah vaksinasi Covid yang diberlakukan atas dasar “emergency use authorization”-kondisi di mana vaksin bisa digunakan dalam kondisi darurat yang mengancam kesehatan masyarakat saat mengatasi pandemi, sekalipun vaksin masih harus melalui pengembangan produk, validasi dan verifikasi serta penelitian lebih lanjut.
Tiga kategori masyarakat penentang program imunisasi menggunakan media sosial dengan amat masif, bahkan menyuguhkan data-data dan ‘publikasi ilmiah’ yang tak jarang dikutip semena-mena, dipilih mana yang paling menunjang keyakinan mereka.
Sekali pun kerap kali publikasi tersebut telah kedaluwarsa atau bahkan telah dianulir dengan studi yang lebih aktual.
Penggalan rujukan-rujukan ini semakin membuat publik bingung, apalagi ditambah fakta-fakta KIPI mengerikan yang tentunya tidak diharapkan terjadi pada anaknya.
Bahkan, ada orangtua yang masih beranggapan demam pasca imunisasi seperti membuat anak sakit, rewel hingga susah makan.
Anak sehat, buat apa dibikin ‘sakit’? begitu anggapan banyak orang hingga hari ini.
Penjelasan demam karena tubuh sedang bereaksi membuat antibodi tidak masuk ke akal mereka. Apalagi, bayangan risiko anak kejang karena demam semakin membuat ngeri.
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang kerap dikait-kaitkan sebagai efek samping imunisasi kian gencar memenuhi laman-laman media sosial dan meraup simpati, sekaligus pengikut yang juga meneruskan tautan informasi ke berbagai akun media sosial.
Bisa dipahami rasa kecewa, sakit, khawatir bahkan takut para orangtua ini – apalagi jika jawaban dokter tidak memuaskan mereka.
Akhirnya, mereka mencari jawab dan berbagai informasi yang memvalidasi rasa kecewa dan kemarahan terhadap sistem layanan kesehatan. Yang pasti, bukan masuk sekolah kedokteran.
Tak jarang terjebak dengan aliran-aliran kesehatan non konvensional yang lebih memenuhi harapan mereka, ‘lebih bersahabat’ ketimbang rigor, dengan paradigma ‘pengobatan alami’ yang dengan mudah juga bisa diterima komunitas penganut ‘terrain model’.
Teori yang diawali oleh Claude Bernard ini, mengandaikan masalah kesehatan muncul akibat lemahnya sistem kekebalan yang diatasi dengan perbaikan gizi, penggunaan herbal (yang lebih ramah lingkungan dan tubuh), pendekatan psikis sehingga terjadi revitalisasi organ dan sistemnya.
Tapi karena penjelasannya terlalu rumit dan mempunyai pendekatan keilmuan yang berbeda, serta minimnya studi berbasis bukti, maka teori medan ini dengan mudah tergelincir menjadi pseudosains.
Mengandalkan testimoni, dan mudah disusupi aneka paham keyakinan, akhirnya menjadi bulan-bulanan penganut ‘mainstream’ garis keras teori kuman Louis Pasteur, yang mana oleh para nakes konvensional dianggap sebagai pahlawan vaksin di abad 19, penggagas teori “Germ” – bahwa penyakit berasal dari infeksi mikroba, kuman yang membuat nakes lebih fokus pada pengobatan, melawan penyakit dengan medikasi dan imunisasi – antitesis ‘terrain model’ Claude Bernard yang sesungguhnya sahabat karib Pasteur sendiri.
Kurangnya edukasi yang mudah dipahami publik
Upaya pencegahan penyakit di negri kita menghadapi sejumlah perlawanan, yang sebetulnya cermin dari kurangnya ‘edukasi yang sederhana dan mudah dipahami’ publik.
Tak heran berita kematian anak dengan perut penuh cacing gelang lebih sensasional ketimbang sebab mati yang sebenarnya: TBC selaput otak yang berat disertai penurunan kesadaran dan berakibat fatal.
TBC masih diyakini publik sebatas penyakit paru dan tidak mematikan.
Padahal TBC bisa dicegah dengan imunisasi, tapi angka kematian TBC di Indonesia amat tinggi: 14 kematian setiap jam atau 125.000 nyawa melayang setiap tahunnya.
Begitu pula Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Sumenep, di mana ribuan anak terkena dan 20 nyawa melayang sia-sia akibat komplikasi radang paru dan otak dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh secara kronik hingga anak mudah kena infeksi lain di masa depan.
KLB bukan hanya di Sumenep, juga terjadi di 14 provinsi, meliputi 42 kabupaten/kota. Sekali lagi: penyakit menular yang mudah dicegah dengan imunisasi.
Jangankan imunisasi, pembagian vitamin A pun menuai banyak penolakan akibat narasi yang beredar soal ‘vitamin sintetik berdosis tinggi’ (dengan perbandingan keliru kebutuhan harian) – padahal dosis 100.000 unit untuk bayi 6-11 bulan dan dosis 200.000 unit untuk balita 12-59 bulan hanya diberi sekali setiap 6 bulan dan vitamin A disimpan di hati untuk berfungsi selama 6 bulan tersebut.
Vitamin A sendiri meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi seperti diare dan batuk pilek, membantu proses pertumbuhan, mengurangi risiko penyakit mata.
Kualitas pangan Makan Bergizi Gratis
Di sisi lain, perbaikan gizi melalui Makan Bergizi Gratis – apabila tata kelolanya dijalankan dengan benar, dalam jangka pendek mampu membantu pemenuhan paling tidak sepertiga dari total asupan sehari-hari.
Jangka menengah berpotensi memperbaiki status gizi dan pencegahan stunting sejak masa kehamilan serta usia balita.
Dan pada akhirnya, secara jangka panjang menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang kita harapkan, 20 tahun ke depan: saat pesta emas kemerdekaan RI.
Sayangnya, hingga pertengahan Agustus 2025, setelah 8 bulan pelaksanaan MBG tercatat 23 kejadian keracunan/ sakit setelah mengonsumsi MBG dengan korban 3111 anak sekolah sebagaimana tertulis dalam laporan CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives).
Belum lagi keluhan makanan basi hingga ditemukannya belatung. Hal yang amat tidak dapat ‘dimaafkan’ apalagi dibenarkan dalam program pemberian makan anak sekolah.
Hingga pekan ketiga Agustus 2025, sebanyak 6.096 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah berdiri dengan 20 juta orang penerima manfaat. Targetnya, di akhir tahun 2025 sebanyak 30.000 dapur akan beroperasi.
Akan menjadi pekerjaan rumah besar bila sistem monitoring, supervisi, dan evaluasi tidak berjalan bersamaan. Bukan hanya soal kebersihan dan keamanan pangan, tapi juga kualitas menu dan bahan pangan.
Satu contoh model makanan misalnya (yang saat ini sedang beredar) : roti burger dengan isian selembar olahan tipis berwarna merah yang tidak bisa disebut daging ditemukan di Langsa, Aceh hingga Sorong, Papua.
Jauh sekali dari contoh idealnya: isian daging cincang tebal atau daging ayam goreng tepung. Yang pasti, sama sekali bukan menu asli Aceh dan Papua. Memenuhi permintaan anak sekolah? Tidak juga. Sebab rasanya jauh dari harapan.
Masih menyisakan tanda tanya juga, MBG ibu hamil dan balita yang disebut ‘menu kering’ – diberi sekali untuk konsumsi 3 hari sekaligus: mulai dari aneka biskuit produk ultraproses, susu kotak berasa coklat dan tentunya bergula. Jauh dari idealisme menu sehat apalagi berkearifan lokal.
Tulisan ini bukan kritik, tapi catatan yang menunjukkan celah-celah di mana kita perlu bekerja keras membenahi sebelum dimanfaatkan pihak-pihak yang justru punya agenda sabotase program generasi harapan.
Pemerintah jelas tidak bisa bekerja sendiri. Itu sebabnya, keterbukaan terhadap masukan demi perbaikan dari koalisi masyarakat sipil perlu didengar.
Sebab, masyarakat adalah aset tetap negri ini. Sementara siapa pun yang duduk di pemerintahan bukan pemilik jabatan abadi.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!