Jangan Panic Buying! Ini 8 Dampak Merugikan bagi Ekonomi dan Sesama Warga

Ilustrasi belanja
Ilustrasi belanja

 Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena panic buying sering muncul ketika dunia menghadapi krisis, mulai dari pandemi, bencana alam, hingga ketidakpastian geopolitik. Istilah ini merujuk pada perilaku konsumen yang membeli barang kebutuhan dalam jumlah besar secara mendadak karena rasa takut akan kelangkaan. 

Fenomena ini bukan hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi juga menimbulkan efek domino terhadap stabilitas perekonomian.

Menurut International Monetary Fund (IMF) dan analisis dari Harvard Business Review, panic buying bisa memperparah ketidakstabilan rantai pasok serta memicu inflasi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. 

Untuk memahami lebih jauh, berikut adalah dampak utama panic buying terhadap perekonomian, seperti dirangkum pada Senin, 1 September 2025.

1. Kelangkaan Barang Kebutuhan Pokok

Ketika panic buying terjadi, barang-barang seperti beras, minyak, tisu, hingga bahan bakar cepat menghilang dari rak toko. Permintaan yang melonjak mendadak membuat stok barang tak mampu memenuhi kebutuhan semua orang. Akibatnya, masyarakat yang membeli belakangan kesulitan mendapatkan produk vital.

2. Kenaikan Harga dan Inflasi

Lonjakan permintaan yang tidak seimbang dengan ketersediaan pasokan mendorong kenaikan harga barang. Fenomena ini sering kali memperburuk inflasi, bahkan di negara dengan stabilitas ekonomi yang relatif kuat. Menurut laporan World Economic Forum, panic buying dapat menciptakan “inflationary shock” jangka pendek yang membebani daya beli masyarakat.

3. Gangguan pada Rantai Pasok Global

Panic buying tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga bisa mengganggu rantai pasok global. Misalnya, lonjakan permintaan masker medis di awal pandemi 2020 membuat negara-negara lain kesulitan mendapat pasokan. Perusahaan logistik pun terpaksa menyesuaikan distribusi, yang akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi.

4. Meningkatkan Ketidakpastian Ekonomi

Fenomena panic buying sering dianggap sebagai indikator ketidakstabilan. Ketika konsumen tidak percaya pada pasokan yang stabil, mereka berbondong-bondong membeli secara berlebihan. Hal ini memperburuk persepsi risiko dan bisa memicu aksi serupa di sektor lain, sehingga menambah ketidakpastian ekonomi.

5. Menekan Kelompok Rentan

Konsumen dengan daya beli rendah paling dirugikan akibat panic buying. Mereka biasanya tidak mampu membeli barang dalam jumlah besar saat harga melonjak. Akibatnya, kelompok rentan ini semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. 

Laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyoroti bahwa kelompok miskin menjadi korban utama ketika panic buying meluas.

6. Menurunkan Kepercayaan Publik

Selain dampak ekonomi langsung, panic buying juga dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pelaku usaha. Ketika masyarakat melihat kelangkaan barang, mereka cenderung menyalahkan otoritas yang dianggap tidak mampu mengelola distribusi dan kestabilan pasar.

7. Memicu Efek Domino pada Pasar Lain

Panic buying pada satu jenis barang bisa merambat ke produk lain. Contohnya, saat bahan bakar diborong, biaya distribusi barang kebutuhan pokok ikut naik, lalu harga barang lain pun terpengaruh. Efek domino ini membuat pemulihan ekonomi semakin sulit dilakukan.

8. Menghambat Pemulihan Ekonomi Jangka Panjang

Jika panic buying terjadi berulang, pemulihan ekonomi pascakrisis bisa terhambat. Pelaku usaha kesulitan merencanakan produksi, sementara masyarakat menghadapi harga yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mengurangi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Panic buying bukan sekadar perilaku konsumtif yang emosional, melainkan fenomena dengan konsekuensi serius bagi perekonomian. Mulai dari kelangkaan barang, inflasi, hingga gangguan rantai pasok, dampaknya bisa dirasakan secara luas.