Riset: Orang yang Sering Chat ke ChatGPT Ternyata Kesepian

Sebagai tools kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), ChatGPT menawarkan berbagai kemampuan. Chatbot ini dapat membantu pengguna dalam berbagai keperluan, mulai dari menjawab pertanyaan umum, menyusun teks, hingga memberikan saran dalam berbagai bidang.
Selain fungsi tersebut, ChatGPT juga sering dimanfaatkan sebagai tempat “curhat”. Kemampuannya dalam menjawab berbagai pertanyaan dengan cepat dan akurat membuatnya menjadi tempat curhat bagi banyak pengguna.
Dengan memasukkan prompt tertentu, ChatGPT bisa berganti peran sesuai dengan keinginan pengguna. Mulai dari teman curhat, diskusi, mentor, bahkan seseorang yang “diidamkan” untuk diajak berbicara.
Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan oleh MIT Media Lab dan OpenAI. Keduanya berkolaborasi melihat sejauh mana interaksi dengan ChatGPT memengaruhi kesehatan emosional pengguna, dengan fokus pada penggunaan mode suara canggih chatbot tersebut.
Penelitian ini dilakukan melalui dua metode. Pertama, dengan uji coba terkontrol secara acak alias randomized controlled trial (RCT) dari MIT, terhadap 1.000 peserta selama empat minggu.
Dari hasil pengujian tersebut, menunjukkan bahwa pengguna yang sering berinteraksi (chat) dengan ChatGPT, terindikasi mengalami tingkat kesepian dan ketergantungan emosional yang lebih tinggi.
"Semakin tinggi frekuensi interaksi dengan ChatGPT, semakin besar pula rasa kesepian dan ketergantungan yang dialami pengguna," ujar tim peneliti sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Fortune, Rabu (2/4/2025).
Kepercayaan ini membuat mereka semakin sering mengandalkan chatbot sebagai tempat curhat utama, sehingga interaksi sosial dengan manusia di dunia nyata semakin berkurang.
Yang menarik, penelitian ini juga menemukan bahwa pengguna yang lebih sering melakukan percakapan bersifat personal dengan ChatGPT memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi.
Pada awalnya, chatbot berbasis suara tampak lebih efektif dalam mengurangi rasa kesepian dibandingkan yang berbasis teks. Namun, efek ini berangsur-angsur memudar seiring peningkatan intensitas penggunaan.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun chatbot berbasis suara awalnya tampak bermanfaat dalam mengurangi kesepian dan ketergantungan dibandingkan dengan chatbot berbasis teks, keuntungan ini berkurang pada tingkat penggunaan yang tinggi, terutama dengan chatbot yang memiliki suara netral," kata peneliti.
Dianggap sebagai tempat curhat paling nyaman
Laporan dari Fortune menyebutkan bahwa bagi sebagian orang, chatbot ini menjadi ruang aman untuk berbicara tanpa rasa takut dihakimi, sesuatu yang sulit didapatkan dalam interaksi sosial nyata.
Fenomena ini juga tercermin dalam survei YouGov tahun 2024 yang menemukan bahwa lebih dari separuh anak muda Amerika berusia 18 hingga 29 tahun merasa nyaman berbicara dengan AI mengenai masalah kesehatan mental.
Beberapa bahkan menganggap AI sebagai alternatif terapi yang lebih mudah diakses dibandingkan bantuan profesional. Namun, para ahli mengingatkan bahwa AI tidak bisa menggantikan interaksi sosial manusia sepenuhnya.
Sejumlah platform AI pendamping, seperti Replika dan Character.ai, mulai mendapatkan perhatian dari regulator karena adanya kasus hukum yang melibatkan interaksi dengan para pengguna di bawah umur.
Pada akhirnya, meskipun AI bisa menjadi alat yang membantu, manusia (pengguna) masih tetap membutuhkan hubungan sosial yang "nyata" untuk menjaga keseimbangan emosional dan kesehatan mental mereka.