Gaikindo Sebut Aksi Premanisme Ganggu Proyek Industri Sudah Ada Sejak 90-an

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyampaikan bahwa aksi premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengganggu proyek industri seperti dialami BYD, sudah terjadi sejak 1998-an.
Oleh karenanya asosiasi tengah berusaha mencari solusi bersama stakeholder terkait supaya kejadian serupa tidak terjadi, membuat investasi di dalam negeri terhambat.
"Itu sudah kami sampaikan dan memang terjadi cukup lama, sejak tahun 1998 itu sudah ada kejadian. Kami sedang dalam proses untuk mengatasinya," kata Sekertaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara ditemui belum lama ini.
Dalam kesempatan itu Gaikindo juga menyarankan kepada setiap produsen yang membangun pabrik untuk melibatkan warga sekitar. Hal ini untuk menghindari kecemburuan sosial sekaligus mensejahterakan masyarakat sekitar pabrik.
"Mereka sudah tahu. Sudah pasti otomatis melibatkan warga lokal. Karena misalnya pabriknya di Cikarang kan tidak mungkin mengambil tenaga kerja dari Tangerang," ujar Kukuh.
Diketahui, belakangan ini ramai aksi premanisme berkedok ormas yang mengganggu pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat. Laporan tersebut disampaikan Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno ketika kunjungan ke Shenzhen, China.
"Sempat ada permasalahan terkait premanisme ormas yang mengganggu pembangunan dari sarana produksi BYD. Saya kira itu harus tegas, pemerintah perlu tegas untuk menangani permasalahan ini," ujar dia melalui akun Instagramnya.
Menurut Eddy aksi premanisme berkedok ormas ini mengganggu iklim investasi di Indonesia. Investor berpotensi kabur lantaran tidak mendapatkan jaminan keamanan untuk berinvestasi di Tanah Air.
Tidak hanya itu, hal serupa juga ternyata dialami produsen kendaraan listrik asal Vietnam, VinFast sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) Moeldoko.
VinFast sendiri sedang membangun pabrik pertamanya di Indonesia yang berlokasi di Subang, Jawa Barat. Pabrik ini berdiri di atas lahan seluas 170 hektar dengan investasi awal sekitar Rp 3,2 triliun.