Worldcoin dan WorldID, Gagasan Pendiri ChatGPT yang Berujung Kontroversi

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan izin kedua layanan tersebut pada Minggu (4/5/2025). Komdigi mengatakan, pihaknya menerima adanya laporan aktivitas mencurigakan kedua layanan tersebut.
Worldcoin sendiri merupakan proyek mata uang kripto untuk mendukung ekosistem identitas digital bernama WorldID. Kedua proyek ini dinaungi oleh Tools of Humanity, perusahaan teknologi yang didirikan oleh Sam Altman dan Alex Blania.
Untuk mendapatkan WorldID, pengguna harus memindai retina mata melalui alat bernama Orb. WorldID diklaim sebagai alat verifikasi untuk membuktikan keaslian identitas manusia di dunia maya, di tengah maraknya penyalahgunaan AI dan bot.
Pengguna yang telah terverifikasi dengan Orb akan mendapatkan WorldID dan imbalan berupa token Worldcoin, yang saat ini memiliki kapitalisasi pasar sekitar Rp 19 triliun.
Di Kota Bekasi dan Kota Depok, masyarakat berbondong-bondong mengantri untuk melakukan pemindaian iris mata dengan janji imbalan uang tunai. Fenomena ini ramai diperbincangkan di media sosial dan menimbulkan kekhawatiran terkait perlindungan data pribadi.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi Alexander Sabar menyatakan bahwa pembekuan izin Worldcoin dan WorldID merupakan langkah preventif untuk melindungi masyarakat.
Menurut Komdigi, PT Terang Bulan Abadi yang terlibat dalam operasional layanan ini belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia.
Selain itu, layanan Worldcoin tercatat menggunakan tanda daftar PSE atas nama badan hukum lain, yaitu PT Sandina Abadi Nusantara, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap peraturan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021, seluruh penyelenggara layanan digital di Indonesia wajib memiliki tanda daftar PSE yang sah dan bertanggung jawab secara hukum terhadap layanannya.
Kontroversi seputar Worldcoin dan WorldID tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebelumnya, proyek ini juga menghadapi masalah hukum di Kenya, Spanyol, Prancis, dan Inggris.
Sejumlah pengamat, termasuk anggota dewan Proof of Humanity Santiago Siri, bahkan menyebut proyek ini sebagai bentuk kolonialisme digital, karena lebih banyak beroperasi di negara berkembang dengan regulasi privasi yang lemah.
Saat ini, Komdigi akan memanggil pihak PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran regulasi penyelenggaraan sistem elektronik di Indonesia.