Pola Asuh Buruk, Masa Depan Anak Tidak Terang

KETIADAAN ayah atau Fatherless adalah masalah besar pola asuh keluarga kita. Pangkal soalnya adalah pandangan: ibu ngurus anak, ayah cari uang. Padahal tanpa ayah, perkembangan emosional anak terganggu.
Saya bukan psikolog, juga bukan peneliti psikologi. Namun, saya sering bertanya kepada ahlinya dan diskusi dengan kawan-kawan yang aktif di yayasan.
Perkenankan saya berbagi sedikit teori psikologi tentang pola asuh keluarga secara singkat. Tujuannya sekadar mempermudah memahami masalah kesehatan mental akibat pola asuh anak dalam keluarga kita.
Saya suka mengutip teori pola asuh yang digagas Diana Baumrind (1971). Berdasar kehangatan dan kontrol, dia membedakan empat jenis pola asuh: otoritatif (demokratis), otoritarian (otoriter), permisif (pemanjaan), dan neglectful (pengabaian).
Orangtua paham betul perilaku anaknya. Mereka mau mendengarkan anak, menyediakan diri untuk berdiskusi dan berdebat, tetapi mereka tidak pernah meninggalkan kontrol atas anak.
Dalam pola asuh otoriter, orangtua mengembangkan komunikasi satu arah kepada anak. Mereka tidak mau mendengarkan suara anak, sebalikya memberikan perintah yang harus dijalankan anak.
Dalam pola asuh permisif, orangtua mencurahkan kasih sayang dan memanjakan anak tanpa memberikan kontrol. Anak membuat keputusan tanpa masukan dan pertimbangan orangtua sehingga tidak punya rujukan norma dan nilai.
Dalam pola asuh pengabaian, orangtua abai terhadap anak, tidak mencurahkan kasih sayang maupun memberikan kontrol terhadap anak. Anak dibiarkan mengikuti aturan, norma, dan nilai-nilai sendiri.
Selain itu, terdapat Teori Attachment (Kelekatan) yang dikemukakan oleh John Bowlby (1958) dan Mary Ainsworth (1978), yang menekankan pentingnya hubungan emosional awal, antara orangtua, khususnya ibu dengan anak.
Ayah hilang dari kehidupan anak karena berbagai faktor: perceraian, kematian, atau ayah yang sibuk bekerja sehingga tidak terlibat dalam pengasuhan anak.
Pernyataan tersebut mengkonfirmasi Laporan Global Fatherhood Index 2021, yang menempatkan Indonesia pada posisi ketiga sebagai negara tingkat fatherlessness tertinggi di dunia. Sampai saat ini kondisinya tidak berubah.
Saya luangkan waktu untuk memandikan anak, menemani sarapan, dan mengantar ke sekolah sebelum saya berangkat kantor. Malam hari, saya harus bangun untuk menggantikan popok.
Rutinitas itu berubah sejalan dengan pertumbuhan anak menjadi remaja. Kita mulai menggunakan dan bergantung pada perangkat teknologi komunikasi dan informasi. Ternyata tidak mudah memindahkan komunikasi tatap muka dengan gadjet.
Saya kira inilah masalah terbesar kedua yang dihadapi oleh orangtua dalam menjalankan pola asuh di tengah banjir informasi yang datang melalui gadjet.
Menjaga keseimbangan penggunaan teknologi oleh generasi Alpha dan Beta (lahir 2010-2025), merupakan tantangan berat orangtua. Jika mereka gagal menjaga keseimbangan penggunaan gadjet, anak-anak tidak hanya mengalami kecanduan, tetapi juga kesulitan mengontrol emosi.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (2025), sebanyak 3,6 persen anak balita mengalami pengasuhan tidak layak, seperti minimnya pemenuhan kebutuhan fisik, emosional, dan pendidikan.
Hampir setiap hari kita membaca berita di media massa maupun media sosial tentang penelantaran bayi akibat ketidaksiapan ekonomi maupun mental orangtua.
Studi di beberapa kota, menunjukkan pola asuh otoriter dan permisif menyebabkan gangguan fungsi eksekutif pada orang dewasa. Yang dimaksud fungsi eksekutif adalah kemampuan memecahkan masalah.
Masalah pola asuh kelima adalah trauma orangtua yang menurun pada anak. Orangtua yang memiliki trauma masa lalu, misalnya akibat kekerasan atau pengabaian, cenderung mengulangi pola toxic tersebut pada anak.
Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, anak-anak yang jadi korban kekerasan ini, setelah dewasa nanti akan menurunkan kembali pola asuh serupa kepada anak-anaknya. Trauma turunan ini membuat gelap masa depan.
Sudah bisa kita bayangkan, bagaimana masa depan anak-anak yang mengalami pola asuh buruk pada saat dewasa nanti: selalu was-was dan cemas, bingung tak tahu berbuat apa, tidak percaya diri, tidak disiplin, sulit mengendalikan diri, tidak gampang melakukan hubungan sosial, dan fungsi eksekutif rendah.
Oleh karena itu, masalah pola asuh buruk ini harus kita hadapi bersama. Pelatihan parenting yang bermunculan di berbagai kota perlu diperluas hingga menyentuh keluarga di desa-desa.
Sedangkan terhadap anak-anak korban salah asuh kita harus tingkatkan kepedulian. Setidaknya, bersedia mendengarkan dan berbagi, serta mengantarkan ke layanan profesional jika memang tampak parah.