Apa Itu Parenting VOC? Pola Asuh Otoriter yang Masih Banyak Diterapkan

Pola asuh otoriter, atau lebih dikenal sebagai parenting VOC, masih diterapkan tanpa sadar oleh orangtua, meskipun pengasuhan saat ini mayoritas mengedepankan empati dan komunikasi terbuka.
Parenting VOC termasuk sebuah pendekatan yang dinilai usang, tapi masih banyak diterapkan hingga saat ini.
Psikolog Meity Arianty menjelaskan, istilah parenting VOC memiliki dua makna yang merujuk pada VOC sebagai singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie buatan Pemerintah Hindia Belanda, serta yang kedua adalah VOC sebagai Voice of Customer.
Gaya pengasuhan ala parenting VOC menjadi sorotan karena berdampak serius terhadap kesehatan mental anak.
Mengenal parenting VOC yang termasuk pola asuh otoriter
Apa itu parenting VOC?
Parenting VOC masih banyak diterapkan. Lantas, apa itu gaya parenting VOC dan bagaimana dampaknya pada tumbuh kembang anak?
Istilah VOC yang dimaksud pertama adalah singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie, perusahaan dagang yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1602.
Gaya asuh ini lahir karena diasosiasikan dengan aturan zaman kolonial dan sangat menekankan pada kekuasaan serta kepatuhan mutlak dari anak kepada orangtua.
“VOC disebut pola asuh ala zaman VOC yaitu mengacu pada pengasuhan dengan gaya didik yang otoriter, konservatif, menekan anak secara berlebihan atau militeristik,” ujar Meity saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
Orangtua yang menerapkan gaya ini biasanya tidak terbiasa berdiskusi dengan anak.
Perintah dianggap harus dijalankan tanpa bantahan. Anak tak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, apalagi mengeluh.
Sementara itu, ada pula arti lain dari VOC yang lebih positif yakni Voice of Customer.
Dalam konteks parenting, VOC ini mengacu pada pendekatan pengasuhan yang melibatkan suara dan kebutuhan anak.
“Parenting Voice of Customer adalah parenting dengan pendekatan di mana orang tua mendengarkan kebutuhan, perasaan, dan suara anak-anak dalam pengasuhan,” jelas Meity.
Mengapa parenting VOC masih dilakukan?
Diterapkan turun-temurun dari orangtua sebelumnya
Parenting VOC masih banyak diterapkan. Lantas, apa itu gaya parenting VOC dan bagaimana dampaknya pada tumbuh kembang anak?
Gaya asuh otoriter ala VOC sering kali dilakukan secara turun-temurun. Banyak orangtua merasa pola ini efektif karena mereka sendiri dibesarkan dengan cara serupa.
Namun, zaman telah berubah. Anak-anak sekarang tumbuh dalam dunia yang menuntut keterbukaan komunikasi, kecerdasan emosional, dan kepercayaan diri.
Gaya parenting yang kaku justru bisa menghambat perkembangan dan keterbukaan anak kepada orangtua.
Banyak orangtua mengira bahwa anak yang diam dan patuh adalah anak yang berhasil. Padahal bisa jadi anak tersebut hanya takut berbicara.
Dampak parenting VOC pada anak
Rentan mengalami gangguan emosional
Parenting VOC masih banyak diterapkan. Lantas, apa itu gaya parenting VOC dan bagaimana dampaknya pada tumbuh kembang anak?
Menerapkan parenting VOC sejak kecil bisa berdampak pada hubungan antara orangtua dan anak, serta pertumbuhan anak.
Menurut Meity, anak-anak yang dibesarkan dengan gaya ini rentan mengalami gangguan emosional dalam jangka panjang.
“Akibatnya, anak-anak yang tumbuh dalam pola seperti ini sering kali mengalami ketakutan serta tekanan mental,” ujarnya.
Anak yang terus-menerus ditekan bisa tumbuh dengan rasa takut berlebihan, mudah cemas, dan sulit membentuk relasi sosial yang sehat.
Dalam jangka panjang, mereka bisa kesulitan mengutarakan perasaan, merasa kurang berharga, serta tumbuh menjadi pribadi yang tertutup.
“Umumnya, anak minim rasa percaya diri karena kurangnya kasih sayang dan komunikasi dua arah. Dampaknya akan terlihat di masa akan datang dan dalam jangka panjang,” tambah Meity.
Saatnya beralih ke pola asuh yang responsif
Anak perlu didengar dan dihargai
Meity menegaskan, sudah saatnya orangtua berpindah dari pola asuh lama menuju pola yang lebih sehat dan lebih demokratis.
Parenting berbasis Voice of Customer menjadi alternatif yang lebih baik untuk masa kini.
Dalam pola ini, anak tak hanya diperlakukan sebagai individu yang harus dibentuk, tapi juga sebagai pribadi yang perlu didengar, dihargai, dan dilibatkan dalam proses pengasuhan.
“Dari kedua itu, memang sebaiknya dilakukan tentu VOC (Voice of Customer), bukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie),” tutupnya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!