Menghadapi Anak Sulit Diatur Tanpa Harus Bersikap Otoriter, Psikolog Ungkap Caranya

pola asuh otoriter, parenting voc, cara menghadapi anak sulit diatur, cara menghadapi anak susah diatur, Menghadapi Anak Sulit Diatur Tanpa Harus Bersikap Otoriter, Psikolog Ungkap Caranya

Menghadapi anak yang sulit diatur sering kali menjadi tantangan besar bagi orangtua. 

Rasa lelah, frustasi, bahkan marah bisa muncul ketika nasihat tak didengar, aturan dilanggar, atau perilaku tak kunjung berubah.

Namun, menurut psikolog Meity Arianty, menerapkan pola asuh keras dan otoriter seperti parenting VOC bukanlah solusi yang bijak.

“Menghadapi anak yang sulit dikasih tahu tidak perlu menggunakan pola asuh yang keras dan otoriter,” ujar Meity saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Risiko pola asuh otoriter bagi hubungan orangtua dan anak

Meity menekankan, pendekatan yang kaku dan menekan cenderung menimbulkan efek negatif bagi hubungan orangtua-anak.

Alih-alih membuat anak patuh, gaya pengasuhan seperti ini justru dapat menciptakan jarak emosional.

“Pendekatan tersebut justru dapat memperburuk hubungan dan membuat anak semakin memberontak atau tertutup,” kata dia.

Dalam situasi tertentu, anak bisa memilih menghindar, berbohong, atau menutup diri sepenuhnya. 

Bukan karena mereka tidak mengerti aturan, tetapi karena tidak merasa aman untuk berinteraksi dengan orangtua.

Kenali akar masalahnya

Daripada langsung memberi hukuman, Meity menyarankan orangtua untuk lebih dulu memahami alasan di balik perilaku anak.

Bisa jadi, anak merasa lelah, cemas, atau tidak mengerti alasan sebuah aturan.

“Seharusnya orangtua perlu mencari tahu alasan di balik perilaku anak, bangun komunikasi yang hangat namun tetap tegas,” jelasnya.

Dengan komunikasi hangat, anak merasa didengar dan dipahami. Sementara sikap tegas memastikan aturan tetap dihormati tanpa mengabaikan rasa aman anak.

Terapkan batasan jelas tanpa kekerasan

Meity menegaskan, disiplin tetap dibutuhkan, tetapi tidak harus diiringi dengan kekerasan. 

Aturan sebaiknya dibarengi konsekuensi yang konsisten dan disepakati bersama.

“Tetapkan batasan yang jelas dengan konsekuensi yang orangtua harus konsisten tanpa harus dengan kekerasan,” ujarnya.

Dengan cara ini, anak akan belajar bahwa aturan bukanlah ancaman, melainkan panduan yang membantu mereka bertumbuh.

Kunci pengasuhan yang sehat, lanjut Meity, terletak pada empati dan kesabaran.

Menempatkan diri di posisi anak membantu orangtua memahami bagaimana pesan atau aturan diterima.

“Lakukan pendekatan yang empatik, sabar, dan tetap berwibawa sebagai orangtua karena itu jauh lebih efektif dalam jangka panjang untuk membentuk kedisiplinan yang berasal dari kesadaran, bukan karena mereka takut pada orangtua,” tutur Meity.

Kedisiplinan yang lahir dari kesadaran akan bertahan lebih lama daripada yang dibangun atas dasar rasa takut.

Membimbing anak, bukan menundukkan

Lebih lanjut, ia menegaskan, tujuan pengasuhan bukanlah membuat anak tunduk atau takut.

Bila anak merasa ditekan, mereka justru bisa memilih untuk menyembunyikan kebenaran atau menghindari orangtua.

“Tujuan utama dalam mengasuh bukan menundukkan anak, membuat anak takut dan akhirnya memilih sembunyi atau tidak jujur,” tegasnya.

Sebaliknya, orangtua diharapkan bisa membimbing anak agar mampu mengatur diri, mengambil keputusan bijak, dan bertanggung jawab.

“Sebaliknya, orangtua harus membimbing mereka, agar mampu mengatur diri sendiri dengan baik,” tambahnya.

Dengan pendekatan ini, hubungan orangtua dan anak akan lebih harmonis, sekaligus membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara emosional.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!