Tips Kompak dengan Pasangan Soal Pola Asuh Anak

Dalam membesarkan anak, keselarasan antara ayah dan ibu sangat penting. Konsistensi dalam menerapkan aturan dan pola asuh membantu anak merasa aman, tidak bingung, dan lebih mudah memahami batasan. Namun, kenyataannya, tidak semua pasangan selalu sepakat dalam hal pengasuhan.
Perbedaan latar belakang, nilai-nilai keluarga asal, hingga pengalaman masa kecil, bisa memengaruhi cara seseorang memandang dan menjalankan pola asuh. Lalu, bagaimana jika kamu dan pasangan memiliki pendekatan berbeda dalam mendidik anak?
Psikolog anak dan Co-founder BN Montessori, Pritta Tyas M.Psi., menyampaikan bahwa perbedaan tersebut wajar terjadi. Yang penting, orang tua tetap bisa mencari titik temu demi kebaikan anak.
Berikut ini dua langkah utama yang bisa dilakukan orangtua saat menghadapi perbedaan dalam pola asuh:
1. Saling berdiskusi dengan terbuka
Menurut Pritta, komunikasi adalah kunci utama. Bicarakan secara terbuka mengenai latar belakang masing-masing—bagaimana orang tua dulu mendidik kamu, apa yang dirasakan sebagai anak, dan apa yang ingin diubah atau diterapkan saat ini.
"Misalnya, ibu lebih tegas karena dulu dibesarkan dengan banyak aturan. Sementara ayah cenderung membebaskan karena dulunya diasuh dengan pendekatan yang lebih longgar. Ini perlu dibicarakan agar bisa saling memahami," jelas Pritta dalam sebuah acara parenting di Jakarta Selatan.
Diskusi ini bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, melainkan untuk membangun pemahaman bersama. Setelah itu, pasangan bisa mulai menyusun pendekatan yang paling sesuai untuk diterapkan pada anak.
Pola Asuh Lebih Efektif saat Pasangan Tinggal Mandiri, Ini Alasannya
2. Sepakati aturan inti yang konsisten
Setelah diskusi, tentukan aturan-aturan pokok yang harus disepakati bersama. Konsistensi sangat penting, terutama saat anak mencoba “menguji” dengan bertanya hal yang sama ke ayah dan ibu.
“Misalnya, makan harus di meja makan, tidak boleh screen time satu jam sebelum tidur, dan selalu berdoa sebelum tidur. Apa pun kondisi anak, sedang rewel atau membujuk, ayah dan ibu harus kompak,” ujar Pritta.
Kesepakatan ini penting agar anak tidak mendapatkan sinyal yang membingungkan, seperti boleh dari ibu tapi tidak dari ayah, atau sebaliknya.
Meski konsistensi penting, bukan berarti aturan tidak bisa dinegosiasikan. Orang tua juga perlu fleksibel dalam hal-hal tertentu, selama itu sudah dibicarakan dan disepakati sebelumnya.
Misalnya, anak boleh meminta tambahan waktu bermain selama 30 menit di akhir pekan, atau memilih menu makan siang favorit saat hari libur.
“Yang penting, pasangan menentukan dulu mana aturan yang bisa dinegosiasikan, dan mana yang tidak. Misalnya, screen time tidak bisa dinegosiasikan, tapi pilihan camilan masih bisa,” tambah Pritta.
Tidak ada pola asuh yang benar-benar sempurna atau seragam. Setiap keluarga unik, begitu pula anak-anak. Namun, saat ayah dan ibu kompak, konsisten, dan saling terbuka, maka anak akan tumbuh di lingkungan yang stabil dan penuh dukungan.
Jika perbedaan terus memicu konflik, tak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog keluarga untuk mendapatkan perspektif dan solusi yang lebih tepat.